TUJUAN PENDIDIKAN
MAKALAH
Disusun guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi
Dosen
Pengampu :
Drs.
IMAM SUPRIYADI, M.Th.I.
Disusun Oleh :
1. SITI ASROFI KHUNAINAH
2. RESTI SULIYANTI
3. NURUL ROHMANIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
( P A I )
SEKOLAH TINGGI ILMU
TARBIYAH MAKHDUM IBRAHIM (STITMA)
T U B A N
2016 / 2017
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, Penulis memanjatkan puji
syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan rahim-Nya yang telah
dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah
diberikan sehingga penyusunan makalah tentang “Tujuan Pendidikan” ini
dapat terselesaikan.
Shalawat terbingkai salam semoga abadi
terlimpahkan kepada sang pembawa risalah kebenaran yang semakin teruji
kebenarannya baginda Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para
pengikutnya. Dan Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini.
Makalah
ini berisi ayat-ayat yang membahas tentang Pembahasan mengenai tujuan Pendidikan. Dalam
kesempatan kali ini,penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Drs. IMAM SUPRIYADI, M.Th.I. selaku Dosen Tafsir Tarbawi yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
2.
Buku referensi, dan media lainnya yang artikelnya kami gunakan dalam penulisan Makalah ini
3.
Semua
pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan yang tidak dapat kami sebutkan
satu persatu.
Setitik harapan dari penulis, semoga makalah
ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari
keterbatasan yang penyusun miliki. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima
segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah
ini.
Tuban , 19 Februari 2017
Penyusun
Kelompok V
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………….……………………… 1
B. Rumusan Masalah ……………..………….…..……………….. 1
C. Tujuan
Pembahasan…………………………..…………………. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. QS.
Thoha ayat 114 …………………….. ..…………..…….. 2
B. QS. Yunus ayat 76 …..……………..…………………………… 4
C. QS. Al-Baqarah
Ayat 201 ………………….. ………………….….. 5
D. QS. Al-Baqarah
Ayat 202…………………... ………………….….. 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan …………………….………………………………. 9
B. Saran ……………………….…………………………………... 9
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 10
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang dikaruniai keutamaan oleh Allah swt
dibandingkan makhluk ciptaannya yang lain. Keutamaan manusia terletak pada
kemampuan akal pikirannya / kecerdasannya. Dengan kemampuannya ini manusia
mampu mengembangkan diri dalam kehidupan yang semakin berkembang.
Pengembangan diri untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan
memerlukan apa yang kita sebut dengan pendidikan. Pendidikan sudah ada sejak
adanya peradaban yang diawali dengan proses kependidikan dalam lingkup yang
masih terbatas.
Pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan ilmu
pengetahuan yang didapat baik dari lembaga formal maupun informal dalam
membantu proses transformasi sehingga dapat mencapai kualitas yang diharapkan.
Agar kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentuan tujuan
pendidikan. Tujuan pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan dalam
proses pembentukan pribadi manusia yang berkualitas, dengan tanpa
mengesampingkan peranan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Dalam proses
penentuan tujuan pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan yang matang, cermat,
dan teliti agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh karena itu
perlu dirumuskan suatu tujuan pendidikan yang menjadikan moral sebagai basis
rohaniah yang amat vital dalam setiap peradaban bangsa.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana bunyi
QS. Thoha ayat 114, QS. Al-baqoroh ayat 201-202 dan QS. Yunus ayat 76 ?
2. Bagaimana pendidikan
menurut tafsir QS. Thoha ayat 114, QS. Al-baqoroh ayat 201-202 dan QS. Yunus
ayat 76 ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui
bunyi dan arti QS. Thoha ayat 114, QS. Al-baqoroh ayat 201-202 dan QS. Yunus
ayat 76.
2. Mengetahui
tafsir QS. Thoha ayat 114, QS. Al-baqoroh ayat 201-202 dan QS. Yunus ayat 76.
BAB II
PEMBAHASAN
A. QS. THOHA AYAT 114
1)
Ayat dan
Terjemah QS. Thoha ayat 114
Artinya:
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Alquran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.S. Thaha: 114)
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Alquran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (Q.S. Thaha: 114)
2) Asbabun Nuzul
Dalam hadits Bukhari
disebutkan bahwa Rasulullah SAW menggerak-gerakkan bibirnya ketika wahyu
diturunkan. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an mula-mulanya
terlalu berat bagi beliau.
Itulah sebabnya ketika Jibril menyampaikan wahyu itu Rasulullah SAW segera saja
mengikuti dengan gerakan lidah dan bibirnya karena takut luput dari ingatan;
padahal Jibril belum selesai membaca. Hal ini terjadi sebelum
turunnya Surah Taha, dan semenjak adanya teguran Allah dalam Ayat ini tentu
beliau sudah tenang dalam menerima wahyu tidak perlu cepat-cepat menangkapnya.
3) Tafsir Ayat dan
Munasabah Ayat
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah Yang Maha Tinggi, Maha Besar
amat luas Ilmu-Nya yang dengan Ilmu-Nya itu Dia mengatur segala sesuatu
dan membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan kepentingan makhluk-Nya,
tidak terkecuali peraturan-peraturan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat
manusia. Dialah yang mengutus para Nabi
dan para Rasul dan menurunkan
kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat dan Injil serta Dia pulalah Yang
menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad saw. Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. dengan secara berangsur-angsur bukan sekaligus sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya.
Kadang-kadang diturunkan hanya beberapa ayat pendek saja atau surat yang pendek
pula dan kadang-kadang diturunkan ayat-ayat yang panjang sesuai dengan keperluan dan kebutuhan pada waktu itu.
Allah Maha Suci dari segala bentuk tekanan apapun. Artinya kekuasaan dan
kehendak Alloh mutlak dan tak terbatas, Alloh berkehendak memerintah atau
melarang sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Dialah Maha Raja yang Haqiqi, yang
seluruh janji, ancaman, perintah atau
ketetapan-Nya tiada yang menentang atau menyamai. Apa yang dijanjikan dan yang
diancamkan Alloh adalah Haq tiada kebatilan atau palsu.
وَ لَا تَعجَل بِالقُرأن مِن قَبلِ اَن يقضَى اِليكَ وحيه
Dalam ayat ini
Allah melarang Muhammad SAW menggerakkan lidahnya untuk membaca Alquran karena
hendak cepat-cepat menguasainya. Maksud ayat ini janganlah engkau
wahai Rasul menggerak-gerakkan lidah dan bibirmu untuk cepat-cepat menangkap
bacaan Jibril karena
takut bacaan itu luput dari ingatanmu. Dalam hadis
Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah SAW menggerak-gerakkan bibirnya ketika
wahyu diturunkan. Menghafal ayat-ayat itu mula-mula terlalu berat
bagi beliau. Itulah sebabnya ketika Jibril menyampaikan wahyu Rasulullah SAW
segera saja mengikuti dengan gerakan lidah dan bibirnya karena takut luput dar i ingatan, padahal
Jibril belum selesai membaca. Allah melarang Nabi SAW
meniru bacaan Jibril kalimat demi kalimat sebelum ia selesai
membacakannya, agar Nabi Muhammad SAW menghafal dan memahami betul-betul
ayat yang diturunkan itu
Dalam ayat lain Alloh juga memberi peringatan yang hampir serupa, agar nabi
SAW tidak buru - buru menggerakkan lisan beliau menirukan malaikat Jbril. Dalam
Surat Al-Qiyamah ayat 16-19 Alloh berfirman
لاتحرك به لسانك لتعجل به , إن علينا جمعه وقرأنه, فإذا قرأناه فاتبع قرأنه,ثم
إن علينا بيانه
“Janganlah engkau gerakkan lisanmu untuk (membaca) Al Qur’an,sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya, Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacannya itu.
Kemudian,sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”
Dalam hadis shohih Bhukhori disebutkan :
عن ابن عبس :كانرسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعالج من الوحى شدة ،
فكان مما يحرك به لسا نه، فأنزل الله هذه الاية
“ Dari ibnu Abbas RA, keadaan Rosululloh SAW ketika menerima wahyu
dalam keadaan payah,, beliau menggerak-gerakkan lisan beliau
(menirukan malaikat Jibril) maka Alloh menurunkan ayat
ini”
Ayat
ini menjelaskan kepada kita dalam proses menyerap atau menerima
ilmu sebaiknya yang kita utamakan adalah pemahaman terhadap ilmu
yang diterima, sehingga jangan sampai kita berpindah-pindah dari satu bab
ke bab yang yang lain sebelum benar-benar paham.
وَقٌل رَب
زِدنِى عِلمًا
Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW, supaya memohon kepada
Alloh SWT tambahan ilmu. Secara tersirat dalam ayat ini jelas bahwa Alloh tidak
memerintahkan kepada hamba – hambanya untuk meminta ilmu bukan meminta tambahan
selain ilmu.
Ilmu
lebih berharga daripada emas. Dengan ilmu manusia bisa meraih segalanya. Orang
yang berilmu bisa mendapatkan emas, sedang dengan emas manusia belum tentu
mendapat ilmu. Di dalam ayat-ayat Al Qur’an, Alloh banyak memberi tamsil
tentang perbedaan antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh.
Ilmu itu laksana manusia. Dia membutuhkan cinta orang yang menuntut ilmu.
Orang yang mencintai selalu berharap bertemu dengan yang dicintai. Setiap saat
selalu ingin bersama yang dicintainya. Demikian pula orang yang mengaku
mencintai ilmu maka tidak pernah jemu atau jenuh untuk mengulangi ilmu yang di
dapat dan terus berusaha untuk mendapaykan ilmu dalam keadaan apapun. Dalam
ayat Al Qur’an yang pertama kali diturunkan lafadz iqro’ diulang – ulang
oleh malaikat Jibril, sampai Nabi SAW ketakutan.
Proses
belajar memerlukan usaha yang keras untuk memahami sesuatu ilmu melalui
pendengaran, penglihatan, pengamatan, penulisan, perenungan dan bacaan. Semua
proses tersebut harus diulang-ulang agar ilmu juga cinta terhadap kita.
C. QS.
YUNUS AYAT 76
1) Ayat dan Terjemah QS. Yunus Ayat 76
فلما جاء هم الحق من عندنا قالو
ان هذا لسحر مبين
Dan tatkala
Telah datang kepada mereka kebenaran (tanda-tanda kekuasaan Allah ) dari sisi
kami, mereka berkata: "Sesungguhnya Ini adalah sihir yang nyata".
2) Tafsir Ayat dan
Munasabah Ayat
Dan tatkala Telah datang
kepada mereka kebenaran (tanda-tanda kekuasaan Allah ) dari sisi kami, mereka
berkata: "Sesungguhnya Ini adalah sihir yang nyata".
Seakan-akan mereka bersumpah
dalam melancarkan tuduhannya itu. Semoga Alloh melaknat mereka, padahal mereka
mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu dusta dan bohong, seperti yang
disebutkan oleh Alloh SWT dalam ayat lain melalui firman-Nya:
وجحدوا بها
واستيقنتها انفسهم ظلما و علوا فانظر كيف
كان عاقبة المفسدين
Artinya : Dan
mereka mengingkarinya Karena ke-zhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati
mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang
yang berbuat kebinasaan. (QS. An-Naml : 14)
Manusia memang telah dikarunia kemampuan dasar yang bersifat
jasmaniah dan rohaniah, agar dengannya manusia mampu mengarungi hidup dengan
sejahtera dan sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan Allah swt. Akan
tetapi kemampuan dasar tersebut tidak akan banyak artinya apabila tidak
dikembangkan dan diarahkan melalui proses kependidikan. Dengan demikian boleh
dikatakan bahwa pendidikan merupakan kunci dari segala keberhasilan hidup
manusia.
Ayat diatas jika dikaitkan dengan pendidikan bahwa segala bentuk
kebenaran
adalah merupakan sebuah
ilmu, dan ilmu bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan kebenaran itu sendiri
pada dasarnya datangnya dari Allah. Akan tetapi pada ayat diatas orang-orang
kafir mengatakan bahwa kebenaran yang telah dibawa oleh Nabi adalah suatu sihir
yang nyata, biarpun sebenarnya dalam hati mereka mengatakan bahwa itu adalah
kebenaran dari Allah SWT.
C. QS. AL-BAQARAH Ayat 201
1)
Ayat dan Terjemah QS. Al-Baqoroh Ayat 201
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Dan di
antara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia
dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka”.
2) Asbabun Nuzul
Orang-orang di
zaman itu apabila melakukan ibadah haji kemudian berdiri di sisi tempat melempar
jumrah dengan menyebut-nyebut jasa kebaikan nenek moyang mereka pada zaman
jahiliah. Peristiwa ini melatar belakangi turunnya ayat ke-200 yang pada
pokoknya memberi petunjuk kepada mereka tentang apa yang harus dilakukan di
tempat melempar jumrah tersebut, yaitu berdzikir lebih banyak lagi kepada Allag
SWT.(HR. Ibnu Jarir dari Mujahid)
Pada saat itu
salah satu dari suku bangsa Arab apabila sampai ke tempat wukuf mereka
berdoa:“Ya Allah, semoga Engkau menjadikan tahun ini tahun yang banyak turun
hujan, tahun kemakmuran yang membawa kebaikan dan kemajuan”. Mereka sama sekali
tidak pernah menyebut-nyebut kehidupan akhirat. Sehubungan dengan itu Allah SWT
menurunkan ayat ke-200 sebagai petunjuk bagi mereka tentang bagaimana dan
ucapan apakah yang harus diucapkan dalam memanjatkan doa kepada Allah SWT.
Sesudah turunnya ayat ini kaum muslimin memanjatkan doa dengan apa yang telah
diajarkan oleh al-quran sebagaimana yang tersebut pada ayat ke-201, yang
kemudian ditegaskan lagi oleh Allah SWT dengan turunnya ayat ke-202. Mulai saat
itulah orang-orang muslim memanjatkan doa dengan memohon kebaikan di dunia dan
di akhirat, tidak hanya kebaikan di dunia dengan melupakan akhirat. (HR. Ibnu
Abi Hatim dari Ibnu Abbas).
3) Tafsir Ayat Dan Munasabah Ayat
Pada ayat ini ada jenis
manusia yang kedua matanya melek. Melek dunia, melek akhirat. Bahkan tak hanya
melek di kedua sisi kehidupan itu, mereka bahkan melihat adanya similaritas dan
singgularitas dari keduanya: فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً
وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً (fīd-dun’ya hasanatan wa fīl-ākhirati hasanatan,
di dunia
kebaikan dan di akhirat kebaikan). Kesamaan dan
kesatuannya terletak pada kata حَسَنَةً (hasanatan, kebaikan).
Artinya, pemilik golongan ini faham bahwa dunia dan akhirat bukanlah dua
wilayah yang posisinya paralel, Melainkan bersifat kontinyu dan linear; dunia
adalah awalnya dan akhirat adalah kelanjutannya. Tidak ada dunia kalau tidak
ada akhirat. Dunia adalah lahan sebab, tempat bercocok tanam; akhirat adalah
lahan akibatnya, tempat menuai dan menikmati hasil. Dalam istilah Alquran,
dunia ini adalah masa ujian, sedangkan akhirat adalah masa mengetahui dan
menikmati hasil ujian tersebut. “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan
dibiarkan (begitu saja masuk surga), sedang Allah belum mengetahui (dalam
kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kalian dan tidak mengambil
menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman?
Dan (ketahuilah bahwa) Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.”
(QS. At-Taubah; 16)
Kendati sudah ada ungkapan yang tegas فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً (fīd-dun’ya
hasanatan wa fīl-ākhirati hasanatan, di dunia
kebaikan dan di akhirat kebaikan), tetapi seseorang
yang memohon dengan doa ini tidak lantas terbebas dari azab api neraka. Untuk
itu masih perlu ditambah dengan permohonan baru yang lebih tegas lagi: وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (wa qinā ‘adzāban-nār, dan
peliharalah kami dari azab neraka).
D. QS. AL-BAQARAH Ayat 202
1) Ayat dan
Terjemah QS. Al-Baqarah ayat 202
أُولَـئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ
سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka
itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan
Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
2) Tafsir Ayat dan Munasabah Ayat
Kata tunjuk أُولَـئِكَ (ūlāika, mereka)
di awal ayat ini kembali ke ayat 200 (manusia golongan pertama)
dan ayat 201 (manusia golongan kedua). Yaitu bahwa mereka yang
beribadah semata dengan tujuan dunia (golongan pertama) dan mereka yang
beribadah dengan tujuan dunia dan akhirat (golongan kedua),
kelak Allah akan memberikan masing-masing kepadanya imbalan sesuai dengan apa
yang mereka usahakan. Adalah tidak adil menurut Allah dan akal sehat manakala
seseorang diberikan apa yang tidak menjadi tujuannya. Yang namanya “tujuan”
adalah “puncak” yang hendak dicapai, sehingga tidak mungkin seseorang akan
mencapai lebih dari apa yang menjadi tujuannya, sebagaimana tidak mungkinnya
seseorang mendaki melampaui puncak.
Di ayat ini kita berkenalan dengan terminologi
yang sudah sangat sering dipakai dalam percakapan sehari-hari: نَصِيبٌ (nashībun, nasib).
Yang berkenaan dengan konsep umum dari kata نَصِيبٌ (nashībun, nasib)
itu. Tetapi apapun yang dibicarakannya, semuanya mengacu kepada satu hal:
“Manusia akan mendapatkan sesuai atau setara dengan apa yang telah
diusahakannya.” Yaitu bahwa نَصِيبٌ (nashībun,
nasib)
adalah akibat dari suatu sebab yang disebut اكتساب (iktisāb, usaha).
Nasib bukanlah akibat yang jatuh begitu saja dari langit, sehingga tidaklah
benar manakala seseorang menyebut nasib-nya lantas menunjuk ke langit.
Maka kalau ada orang yang berhasil dalam
hidupnya, tidak ada alasan untuk iri hati kepadanya. Baik itu kebaikan حَسَنَة (hasanah, kebaikan);
baik itu keburukan سَيِّئَة (sayyiah,
keburukan).
Karena Allah telah menguncinya dengan sebuah pernyataaan tegas: لَهُمْ نَصِيبٌ مِّمَّا كَسَبُواْ (lahum nashībun mimmā kasabū, bagi
mereka apa yang mereka telah usahakan). Kalau ingin seperti mereka,
hanya ada satu jalan ke arah itu: berusaha dengan tekun seperti ketekunan usaha
mereka, bekerja maksimal seperti kerja maksimal mereka, berpikir keras seperti
mereka berpikir keras. Kalau ingin menghilangkan kejahatan, bekerjalah melebihi kerja keras para pelaku kejahatan.
Berkreasilah melahirkan kultur spiritualisme melebihi kreativitas mereka dalam
mempromosikan kultur hedonisme. Beribadahlah kepada Allah dengan khusyuk
melebihi ke-‘khusyuk’-an mereka menyembah benda-benda. Pada saat lahir, Allah
memberikan modal yang sama kepada semua manusia, tanpa melihat latar belakang
orang tua dan masyarakatnya. Semua manusia lahir dalam keadaan tidak membawa
apa-apa, selain tubuh dan akal pikiran. Tanpa benda-benda, tanpa budaya-budaya.
Semua manusia lahir di bumi yang sama, yang kepadanya diberikan hak yang sama
terhadap daratan, lautan, dan udara.
Semua itu adalah hukum; yakni
ketetapan-ketetapan dan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh Allah. Dan hukum
membuat semuanya bisa dikalkulasi: وَاللّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (wallāhu sarī’ul-hisāb, dan
Allah sangat cepat perhitungan-Nya). Andai kata manusia mampu
menjangkau semua variabel yang berpengaruh pada terwujudnya suatu peristiwa,
niscaya manusia akan mampu mengetahui dengan presisi yang tepat apa, kapan, dan
bagaimana kelak wujud peristiwa atau nasib yang akan menimpanya. Di dalam wilayah kekuasaan-Nya. Kata (sarī’, sangat
cepat),
bagi Allah, bukanlah dalam maknanya yang berwaktu, seperti bayangan manusia.
Melainkan dalam maknanya yang majasi, agar manusia dapat memahami
‘perbuatan’-Nya. Dalam menghitung, Dia tidak butuh ruang dan waktu. Juga tidak
butuh variabel-variabel. Tidak butuh formula-formula dan rumus-rumus. Tidak
butuh perhitungan-perhitungan. Tidak butuh angka-angka dan kata-kata. Semua
kebinekaan yang terhampar di halaman indera dan nalar manusia terjadi dalam
ketunggalan Wujud dan Zat-Nya. Sehingga, bahkan, jauh sebelum peristiwa itu
terjadi, pun Dia sudah mengetahuinya. Sebab rasio manusia—yang digunakan untuk
memilih dan menghitung langkah-langkah pewujudan suatu peristiwa—pun berada di
dalam pikiran-Nya. Ketika Allah menutup ayat ini dengan ungkapan وَاللّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (wallāhu sarī’ul-hisāb, dan
Allah sangat cepat perhitungan-Nya), yang Dia kehendaki ialah agar
manusia mengerti bahwasanya perbuatan manusia dan perbuatan-Nya tidak ada
jarak. Tidak ada jarak waktu. Tidak ada jarak ruang. Karena ruang dan waktu
adalah juga ‘perbuatan’-Nya.
Bagi makhluk, kecepatan adalah penggunaan waktu lebih singkat dari
waktu yang semestinya, atau diduga sebelumnya. Betapa tidak cepat perhitungan
Allah,sedang Dia tidak memerlukan waktu untuk menyelesaikan
sesuatu,“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah ia.”(QS. Yasin (36):82). Allah tidak
perlu menanti selesainya satu pekerjaan untuk mengerjakan pekerjaan yang lain,
karena Dia tidak terhalangi oleh apapun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai tujuan pendidikan yang telah
diuraikan di atas, Dapat kita ketahui
bahwasanya Pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang
telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Dan pendidikan itu sendiri membantu proses
transformasi sehingga dapat mencapai kualitas yang diharapkan. Agar kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentuan
tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan
dalam proses pembentukan pribadi manusia yang berkualitas dengan tanpa
mengesampingkan peranan unsur-unsur lain dalam pendidikan seperti halnya akhlaqul
karimah. Dalam proses penentuan tujuan pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan
yang matang, cermat, dan teliti agar tidak menimbulkan masalah di kemudian
hari. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu tujuan pendidikan yang menjadikan
moral dan akhlaq sebagai basis rohaniah yang amat vital dalam setiap peradaban
bangsa.
B. Saran
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok
dalam hidup manusia. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik maka perlu adanya
pemahaman terhadap dasar dan tujuan pendidikan secara mendalam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah.
DAFTAR
PUSTAKA
Wahab, Rochmad. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, Yogyakarta
: CV Aswaja Pressindo, 2011
Departemen Agama RI. Al
Qur’an dan terjemahnya juz 1-30. Surabaya: CV.Pustaka Agung Harapan, 1997.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus
Al Munawir Arab – Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, Cetakan ke-25. 2002.
Sayadi, Wajidi. Hadis Tarbawi. Jakarta: PT Pustaka Firdaus,
Cetakan ke-4 2015
Sumber lain:
http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat