HUBUNGAN AKAL DENGAN WAHYU
MAKALAH
Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
yang
diampu oleh Dosen Jamal Ghofir S.Sos.,MA.
Penyusun :
·
Siti Asrofi Khunainah
·
Siti Mu’awanah
·
Septi Widya Pangestutik
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH MAKHDUM IBRAHIM (STITMA)
TUBAN
2 0 1 5 /
2 0 1 6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Alloh menciptakan manusia sebagai
makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan
yang melekat pada diri manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi
sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi
akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standart seseorang
diberikan beban taklif dan sebuah hukum. Islam bahkan menjadikan akal sebagai
salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk
dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan
pada terjaga dan peliharanya kelima unsure tersebut, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan agama pada dua
jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui jalan wahyu, yakni
melalui komunikasi komunikasi dari Tuhan kepada manusia. Dan yang Kedua,melalui
jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan
pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan.
Pengetahuan yang diperoleh melalui
wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolute, sementara pengetahuan yang
diperoleh melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relative,
yang memerlukan pengujian secara terus-menerus, mungkin benar dan mungkin salah
(Harun Nasution, 1981: 1)
1.2. Rumusan Masalah
Berangkat dari
latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diajukan adalah :
1.
Apakah
pengertian akal dan wahyu?
2.
Bagaimana
hubungan antara akal dan wahyu?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui pengertian dari akal dan wahyu
2.
Untuk mengetahui hubungan akal dengan wahyu.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Akal dan Wahyu
a.
Pengertian Akal
Kata Akal sudah
menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql ( ألعقل
) , bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan
yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat
luas.
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau
kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya.
Dalam pandangan para filosof islam kata al-‘aql
mengandung arti yang sama dengan kata Yunani nouse, yang berarti
daya berfikir yang terdapat dalam jiwa (al-nafs atau al-ruh) manusia.
Al-Kindi
(796-873 M) menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, yaitu daya
nafsu yang berada di perut, daya berani yang bertempat di dada dan daya
berfikir yang berpusat di kepala. Ibnu Miskawaih (941-1030 M) juga memberikan
pembagian yang sama, menurutnya daya terendah adalah daya bernafsu, daya
tertinggi adalah daya berfikir, dan daya berani mengambil posisi diantara
keduanya. Filosof lain juga memberikan pembagian tiga pula, tetapi sejalan
dengan filsafat Aristoteles, mereka menyebutnya bukan tiga daya, tetapi tiga
jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa manusia. jiwa manusia
inilah merupakan pusat daya berfikir yang disebut akal.[1]
Sedangkan
menurut para ahli, Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah suatu daya yang
hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu,
Dia-lah yang membedakan manusia dari makhluk lain.[2]
Abu Huzail
mengatakan bahwa akal merupakan daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga daya
yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda yang lain dan
untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan. [3]
b.
Pengertian
Wahyu
Kata Wahyu (الوحي
) secara etimologis mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Wahyu
juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan terjadi dengan cepat.
Secara konseptual, istilah wahyu menunjukkan kepada nama-nama yang lebih
popular seperti Al-Kitab, Al-Qur’an, Risalah, dan Balagh.[4] Kata
wahyu lebih populer dikenal dalam pengertian apa yang diwahyukan Allah kepada
para Nabi.[5]
Dalam
terminology Islam, wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu dinamakan
Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab dan firman Alloh yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Menurut
Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid, berpendapat bahwa wahyu adalah
pengetahuan yang didapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai
keyakinan bahwa semua itu datangnya dari Alloh SWT, baik melalui perantara
maupun tanpa perantara.
2.2. Hubungan antara Akal dengan Wahyu
Akal adalah potensi
berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut
diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi
khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Akal
melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan
untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal
manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan mahluk lain.
Bertambah rendah akal manusia, bertambah rendsh pulalah kesanggupanya
menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Salah
satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah Hubungan Antara Akal dan Wahyu. Ia
menjelaskan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan,
tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
Al-Qur’an. Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat, ilmu kalam apalagi
ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada
wahyu.Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu.
Yang bertentangan adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal
ulama lain.
Dengan adanya akal manusia
mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan kebenaran
yang hakiki sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan
dapat diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan
pemikiran yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap
wajib bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk;
indah dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun
wahyu belum turun.[6]
Menurut
Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal,
termasuk mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan.
Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap
wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan.
Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui
akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal
juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi
keburukan juga wajib.[7]
Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban
manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak
ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu membuat kewajiban
tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang
baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.[8]
Adapun
berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu
dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak
mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu
disebut baik, jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam
oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber dari wah yu, maka sesuatu
dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu.[9]
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu,
yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal
bisa salah juga bisa benar.Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya
baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.Pengetahuan
adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah
teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan bagi umat manusia.Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana
keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana
keduanya harus berpisah.Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains
dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar
berpikir dengan dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu
antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak
bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya,
bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.
3.2. Saran
Sebagai umat islam kita harus selalu menggali
ilmu pengetahuan yang berguna bagi umat manusia. Dan agar kita dapat
mengaplikasikan ilmu yang di peroleh untuk kepentingan dan kemaslahatan umat
manusia dan menjadikan Al Quran dan Al Sunnah sebagai pegangan hidup karena
keduanya merupakan sumber ilmu yang paling utama.
3.3. Penutup
Demikian makalah ini kami buat dan kami sampaikan
kepada pembaca sekalian. Makalah ini dibuat bukan semata – mata dalam rangka
memenuhi tugas pada mata kuliah, pada akhirnya kami berharap agar makalah ini
dapat bermanfaat serta menambah wawasan bagi kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution, Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI
Press. 1986
Navis, Abdurrahman
dkk., Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Surabaya: Khalista. 2012
Tim Guru MGPK. Ilmu
Kalam kelas XII. Mojokerto: CV. Mutiara Ilmu. 2012
[2] Ibid, h.81
[3] Ibid,
h.82
[4] Nash Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap
Ulumul Qur’an, Yogyakarta:LKIS, 2001, h.33.
[5] Supiana & M. Karman, Materi
Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, h. 192
[6]
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandinga, Jakarta:
UI Press, 1872, h.80
[7]
Ibid, h.81
[8]
Ibid, h.81
[9]
Ibid, h.83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar