Sabtu, 18 Februari 2017

TAFSIR TARBAWI Tujuan Pendidikan (Smt.4 PAI)



TUJUAN PENDIDIKAN
MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Tarbawi

Dosen Pengampu :
Drs. IMAM SUPRIYADI, M.Th.I.
                                                              









Disusun Oleh :

1.      SITI ASROFI KHUNAINAH  
2.      RESTI SULIYANTI                 
3.      NURUL ROHMANIYAH        


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( P A I )
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKHDUM IBRAHIM (STITMA)
T U B A N
2016 / 2017



KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan dan  keikhlasan hati, Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan rahim-Nya yang telah dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah diberikan sehingga penyusunan makalah tentang “Tujuan Pendidikan” ini dapat  terselesaikan.
Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang pembawa risalah kebenaran yang semakin teruji kebenarannya baginda Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya. Dan Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini.
            Makalah ini berisi  ayat-ayat yang membahas tentang Pembahasan mengenai tujuan Pendidikan. Dalam kesempatan kali ini,penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Drs. IMAM SUPRIYADI, M.Th.I. selaku Dosen Tafsir Tarbawi yang telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
2.      Buku referensi, dan media lainnya yang artikelnya kami gunakan dalam penulisan Makalah ini
3.      Semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang penyusun miliki. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.


Tuban ,            19 Februari 2017
Penyusun


Kelompok V





DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................    i
KATA PENGANTAR ...................................................................................    ii
DAFTAR ISI .................................................................................................    iii

BAB    I      PENDAHULUAN                                                                     
A. Latar Belakang ………………………….………………………   1
B. Rumusan Masalah ……………..………….…..………………..    1              
C. Tujuan Pembahasan…………………………..………………….                1

BAB    II    PEMBAHASAN                                                                        
                   A. QS. Thoha ayat 114 …………………….. ..…………..……..    2
                   B. QS. Yunus ayat 76 …..……………..……………………………               4
C. QS. Al-Baqarah Ayat 201 ………………….. ………………….…..            5
D. QS. Al-Baqarah Ayat 202…………………... ………………….…..           7

BAB  III     PENUTUP                                                                                 
                   A. Kesimpulan …………………….……………………………….   9
                   B. Saran ……………………….…………………………………...    9

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….     10
                       

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang dikaruniai keutamaan oleh Allah swt dibandingkan makhluk ciptaannya yang lain. Keutamaan manusia terletak pada kemampuan akal pikirannya / kecerdasannya. Dengan kemampuannya ini manusia mampu mengembangkan diri dalam kehidupan yang semakin berkembang.
Pengembangan diri untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan memerlukan apa yang kita sebut dengan pendidikan. Pendidikan sudah ada sejak adanya peradaban yang diawali dengan proses kependidikan dalam lingkup yang masih terbatas.
Pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang didapat baik dari lembaga formal maupun informal dalam membantu proses transformasi sehingga dapat mencapai kualitas yang diharapkan. Agar kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentuan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan dalam proses pembentukan pribadi manusia yang berkualitas, dengan tanpa mengesampingkan peranan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Dalam proses penentuan tujuan pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan yang matang, cermat, dan teliti agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu tujuan pendidikan yang menjadikan moral sebagai basis rohaniah yang amat vital dalam setiap peradaban bangsa.

B. Rumusan Masalah
     1.   Bagaimana bunyi QS. Thoha ayat 114, QS. Al-baqoroh ayat 201-202 dan QS. Yunus ayat 76 ?
     2.   Bagaimana pendidikan menurut tafsir QS. Thoha ayat 114, QS. Al-baqoroh ayat 201-202 dan QS. Yunus ayat 76 ?


C. Tujuan Pembahasan
     1.    Mengetahui bunyi dan arti QS. Thoha ayat 114, QS. Al-baqoroh ayat 201-202 dan QS. Yunus ayat 76.
     2.  Mengetahui tafsir QS. Thoha ayat 114, QS. Al-baqoroh ayat 201-202 dan QS. Yunus ayat 76.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    QS. THOHA AYAT 114
1)      Ayat dan Terjemah QS. Thoha ayat 114
Artinya:
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Alquran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. 
(Q.S. Thaha: 114)

2)   Asbabun Nuzul
Dalam hadits Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah SAW menggerak-gerakkan bibirnya ketika wahyu diturunkan. Menghafal ayat-ayat Al-Qur’an mula-mulanya terlalu berat bagi  beliau. Itulah sebabnya ketika Jibril menyampaikan wahyu itu Rasulullah SAW segera saja mengikuti dengan gerakan lidah dan bibirnya karena takut luput dari ingatan; padahal Jibril belum selesai membaca. Hal  ini  terjadi sebelum turunnya Surah Taha, dan semenjak adanya teguran Allah dalam Ayat  ini  tentu beliau sudah tenang dalam menerima wahyu tidak perlu cepat-cepat menangkapnya.

3)   Tafsir Ayat dan Munasabah Ayat
Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah Yang Maha Tinggi, Maha Besar amat  luas Ilmu-Nya yang dengan Ilmu-Nya itu Dia mengatur segala sesuatu dan membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan kepentingan makhluk-Nya, tidak terkecuali peraturan-peraturan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia. Dialah  yang  mengutus  para Nabi dan para Rasul  dan menurunkan kitab-kitab suci seperti Zabur, Taurat dan Injil serta Dia pulalah Yang menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad saw. Alquran diturunkan kepada Nabi  Muhammad saw. dengan secara berangsur-angsur bukan sekaligus sesuai dengan  hikmah  kebijaksanaan-Nya. Kadang-kadang diturunkan hanya beberapa ayat pendek saja atau surat yang  pendek pula dan kadang-kadang diturunkan ayat-ayat yang panjang sesuai dengan  keperluan  dan  kebutuhan  pada waktu itu.
Allah Maha Suci dari segala bentuk tekanan apapun. Artinya kekuasaan dan kehendak Alloh mutlak dan tak terbatas, Alloh berkehendak memerintah atau melarang sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya. Dialah Maha Raja yang Haqiqi, yang seluruh  janji,  ancaman,  perintah  atau   ketetapan-Nya tiada yang menentang atau menyamai. Apa yang dijanjikan dan yang diancamkan Alloh adalah Haq tiada kebatilan atau palsu.
وَ لَا تَعجَل بِالقُرأن مِن قَبلِ اَن يقضَى اِليكَ وحيه
Dalam ayat ini Allah melarang Muhammad SAW menggerakkan lidahnya untuk membaca Alquran karena hendak cepat-cepat menguasainya. Maksud ayat ini  janganlah engkau wahai Rasul menggerak-gerakkan lidah dan bibirmu untuk cepat-cepat menangkap bacaan  Jibril  karena takut bacaan itu luput dari ingatanmu. Dalam hadis Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah SAW menggerak-gerakkan bibirnya ketika wahyu diturunkan. Menghafal ayat-ayat  itu  mula-mula terlalu berat bagi beliau. Itulah sebabnya ketika Jibril menyampaikan wahyu Rasulullah SAW segera saja mengikuti dengan gerakan lidah dan bibirnya karena takut  luput  dar i ingatan,  padahal Jibril belum selesai membaca. Allah melarang Nabi SAW meniru bacaan  Jibril  kalimat demi kalimat sebelum ia selesai membacakannya, agar  Nabi Muhammad SAW menghafal dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu
Dalam ayat lain Alloh juga memberi peringatan yang hampir serupa, agar nabi SAW tidak buru - buru menggerakkan lisan beliau menirukan malaikat Jbril. Dalam Surat Al-Qiyamah ayat 16-19 Alloh berfirman
لاتحرك به لسانك لتعجل به , إن علينا جمعه وقرأنه, فإذا قرأناه فاتبع قرأنه,ثم إن علينا بيانه
“Janganlah engkau gerakkan lisanmu untuk (membaca) Al Qur’an,sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya, Apabila Kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacannya itu. Kemudian,sesungguhnya  atas tanggungan Kamilah penjelasannya”
Dalam hadis shohih Bhukhori disebutkan :
عن ابن عبس :كانرسول الله صلى الله عليه وسلم كان  يعالج من الوحى شدة ، فكان مما يحرك به لسا نه، فأنزل الله هذه الاية
“ Dari ibnu Abbas RA, keadaan Rosululloh SAW ketika menerima wahyu dalam  keadaan  payah,,  beliau menggerak-gerakkan lisan beliau (menirukan malaikat Jibril)   maka Alloh  menurunkan  ayat ini”                                                                                                                            Ayat ini menjelaskan kepada kita dalam proses menyerap atau  menerima  ilmu sebaiknya yang  kita utamakan adalah pemahaman terhadap ilmu yang diterima, sehingga jangan sampai  kita berpindah-pindah dari satu bab ke bab yang yang lain sebelum benar-benar paham.
وَقٌل رَب زِدنِى عِلمًا
          Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW, supaya memohon kepada Alloh SWT tambahan ilmu. Secara tersirat dalam ayat ini jelas bahwa Alloh tidak memerintahkan kepada hamba – hambanya untuk meminta ilmu bukan meminta tambahan selain ilmu.
            Ilmu lebih berharga daripada emas. Dengan ilmu manusia bisa meraih segalanya. Orang yang berilmu bisa mendapatkan emas, sedang dengan emas manusia belum tentu mendapat ilmu. Di dalam ayat-ayat Al Qur’an, Alloh banyak memberi tamsil tentang perbedaan antara orang yang berilmu dan orang yang bodoh.
Ilmu itu laksana manusia. Dia membutuhkan cinta orang yang menuntut ilmu. Orang yang mencintai selalu berharap bertemu dengan yang dicintai. Setiap saat selalu ingin bersama yang dicintainya. Demikian pula orang yang mengaku mencintai ilmu maka tidak pernah jemu atau jenuh untuk mengulangi ilmu yang di dapat dan terus berusaha untuk mendapaykan ilmu dalam keadaan apapun. Dalam ayat Al Qur’an yang pertama kali diturunkan lafadz iqro’ diulang – ulang oleh malaikat Jibril, sampai Nabi SAW ketakutan.
            Proses belajar memerlukan usaha yang keras untuk memahami sesuatu ilmu melalui pendengaran, penglihatan, pengamatan, penulisan, perenungan dan bacaan. Semua proses tersebut harus diulang-ulang agar ilmu juga cinta terhadap kita.

C.        QS. YUNUS AYAT 76
            1)         Ayat dan Terjemah QS. Yunus Ayat 76


فلما جاء هم الحق من عندنا قالو ان هذا لسحر مبين
Dan tatkala Telah datang kepada mereka kebenaran (tanda-tanda kekuasaan Allah ) dari sisi kami, mereka berkata: "Sesungguhnya Ini adalah sihir yang nyata".

2)         Tafsir Ayat dan Munasabah Ayat
Dan tatkala Telah datang kepada mereka kebenaran (tanda-tanda kekuasaan Allah ) dari sisi kami, mereka berkata: "Sesungguhnya Ini adalah sihir yang nyata".
Seakan-akan mereka bersumpah dalam melancarkan tuduhannya itu. Semoga Alloh melaknat mereka, padahal mereka mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu dusta dan bohong, seperti yang disebutkan oleh Alloh SWT dalam ayat lain melalui firman-Nya:

وجحدوا بها واستيقنتها انفسهم ظلما و علوا   فانظر كيف كان عاقبة المفسدين
Artinya            :           Dan mereka mengingkarinya Karena ke-zhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (QS. An-Naml : 14)
Manusia memang telah dikarunia kemampuan dasar yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, agar dengannya manusia mampu mengarungi hidup dengan sejahtera dan sesuai dengan rambu-rambu yang telah digariskan Allah swt. Akan tetapi kemampuan dasar tersebut tidak akan banyak artinya apabila tidak dikembangkan dan diarahkan melalui proses kependidikan. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa pendidikan merupakan kunci dari segala keberhasilan hidup manusia.
Ayat diatas jika dikaitkan dengan pendidikan bahwa segala bentuk kebenaran   adalah merupakan sebuah ilmu, dan ilmu bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan kebenaran itu sendiri pada dasarnya datangnya dari Allah. Akan tetapi pada ayat diatas orang-orang kafir mengatakan bahwa kebenaran yang telah dibawa oleh Nabi adalah suatu sihir yang nyata, biarpun sebenarnya dalam hati mereka mengatakan bahwa itu adalah kebenaran dari Allah SWT.
C.        QS. AL-BAQARAH Ayat 201
1)      Ayat dan Terjemah QS. Al-Baqoroh Ayat 201
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Dan di antara mereka ada yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari azab neraka”.
2)         Asbabun Nuzul
Orang-orang di zaman itu apabila melakukan ibadah haji kemudian berdiri di sisi tempat melempar jumrah dengan menyebut-nyebut jasa kebaikan nenek moyang mereka pada zaman jahiliah. Peristiwa ini melatar belakangi turunnya ayat ke-200 yang pada pokoknya memberi petunjuk kepada mereka tentang apa yang harus dilakukan di tempat melempar jumrah tersebut, yaitu berdzikir lebih banyak lagi kepada Allag SWT.(HR. Ibnu Jarir dari Mujahid)
Pada saat itu salah satu dari suku bangsa Arab apabila sampai ke tempat wukuf mereka berdoa:“Ya Allah, semoga Engkau menjadikan tahun ini tahun yang banyak turun hujan, tahun kemakmuran yang membawa kebaikan dan kemajuan”. Mereka sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut kehidupan akhirat. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan ayat ke-200 sebagai petunjuk bagi mereka tentang bagaimana dan ucapan apakah yang harus diucapkan dalam memanjatkan doa kepada Allah SWT. Sesudah turunnya ayat ini kaum muslimin memanjatkan doa dengan apa yang telah diajarkan oleh al-quran sebagaimana yang tersebut pada ayat ke-201, yang kemudian ditegaskan lagi oleh Allah SWT dengan turunnya ayat ke-202. Mulai saat itulah orang-orang muslim memanjatkan doa dengan memohon kebaikan di dunia dan di akhirat, tidak hanya kebaikan di dunia dengan melupakan akhirat. (HR. Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas).
3)         Tafsir Ayat Dan Munasabah Ayat
Pada ayat ini ada jenis manusia yang kedua matanya melek. Melek dunia, melek akhirat. Bahkan tak hanya melek di kedua sisi kehidupan itu, mereka bahkan melihat adanya similaritas dan singgularitas dari keduanya: فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً (fīd-dun’ya hasanatan wa fīl-ākhirati hasanatan, di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan). Kesamaan dan kesatuannya terletak pada kata حَسَنَةً (hasanatan, kebaikan). Artinya, pemilik golongan ini faham bahwa dunia dan akhirat bukanlah dua wilayah yang posisinya paralel, Melainkan bersifat kontinyu dan linear; dunia adalah awalnya dan akhirat adalah kelanjutannya. Tidak ada dunia kalau tidak ada akhirat. Dunia adalah lahan sebab, tempat bercocok tanam; akhirat adalah lahan akibatnya, tempat menuai dan menikmati hasil. Dalam istilah Alquran, dunia ini adalah masa ujian, sedangkan akhirat adalah masa mengetahui dan menikmati hasil ujian tersebut. “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan dibiarkan (begitu saja masuk surga), sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kalian dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman? Dan (ketahuilah bahwa) Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. At-Taubah; 16)
Kendati sudah ada ungkapan yang tegas فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً (fīd-dun’ya hasanatan wa fīl-ākhirati hasanatan, di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan), tetapi seseorang yang memohon dengan doa ini tidak lantas terbebas dari azab api neraka. Untuk itu masih perlu ditambah dengan permohonan baru yang lebih tegas lagi: وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (wa qinā ‘adzāban-nār, dan peliharalah kami dari azab neraka).

D.        QS. AL-BAQARAH Ayat 202
      1)         Ayat dan Terjemah QS. Al-Baqarah ayat 202

أُولَـئِكَ لَهُمْ نَصِيبٌ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian dari apa yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.
            2)         Tafsir Ayat dan Munasabah Ayat
Kata tunjuk أُولَـئِكَ (ūlāika, mereka) di awal ayat ini kembali ke ayat 200 (manusia golongan pertama) dan ayat 201 (manusia golongan kedua). Yaitu bahwa mereka yang beribadah semata dengan tujuan dunia (golongan pertama) dan mereka yang beribadah dengan tujuan dunia dan akhirat (golongan kedua), kelak Allah akan memberikan masing-masing kepadanya imbalan sesuai dengan apa yang mereka usahakan. Adalah tidak adil menurut Allah dan akal sehat manakala seseorang diberikan apa yang tidak menjadi tujuannya. Yang namanya “tujuan” adalah “puncak” yang hendak dicapai, sehingga tidak mungkin seseorang akan mencapai lebih dari apa yang menjadi tujuannya, sebagaimana tidak mungkinnya seseorang mendaki melampaui puncak. 
Di ayat ini kita berkenalan dengan terminologi yang sudah sangat sering dipakai dalam percakapan sehari-hari: نَصِيبٌ (nashībun, nasib). Yang berkenaan dengan konsep umum dari kata نَصِيبٌ (nashībun, nasib) itu. Tetapi apapun yang dibicarakannya, semuanya mengacu kepada satu hal: “Manusia akan mendapatkan sesuai atau setara dengan apa yang telah diusahakannya.” Yaitu bahwa نَصِيبٌ (nashībun, nasib) adalah akibat dari suatu sebab yang disebut اكتساب (iktisāb, usaha). Nasib bukanlah akibat yang jatuh begitu saja dari langit, sehingga tidaklah benar manakala seseorang menyebut nasib-nya lantas menunjuk ke langit. 
Maka kalau ada orang yang berhasil dalam hidupnya, tidak ada alasan untuk iri hati kepadanya. Baik itu kebaikan حَسَنَة (hasanah, kebaikan); baik itu keburukan سَيِّئَة (sayyiah, keburukan). Karena Allah telah menguncinya dengan sebuah pernyataaan tegas: لَهُمْ نَصِيبٌ مِّمَّا كَسَبُواْ (lahum nashībun mimmā kasabū, bagi mereka apa yang mereka telah usahakan). Kalau ingin seperti mereka, hanya ada satu jalan ke arah itu: berusaha dengan tekun seperti ketekunan usaha mereka, bekerja maksimal seperti kerja maksimal mereka, berpikir keras seperti mereka berpikir keras. Kalau ingin menghilangkan kejahatan, bekerjalah melebihi kerja keras para pelaku kejahatan. Berkreasilah melahirkan kultur spiritualisme melebihi kreativitas mereka dalam mempromosikan kultur hedonisme. Beribadahlah kepada Allah dengan khusyuk melebihi ke-‘khusyuk’-an mereka menyembah benda-benda. Pada saat lahir, Allah memberikan modal yang sama kepada semua manusia, tanpa melihat latar belakang orang tua dan masyarakatnya. Semua manusia lahir dalam keadaan tidak membawa apa-apa, selain tubuh dan akal pikiran. Tanpa benda-benda, tanpa budaya-budaya. Semua manusia lahir di bumi yang sama, yang kepadanya diberikan hak yang sama terhadap daratan, lautan, dan udara. 
Semua itu adalah hukum; yakni ketetapan-ketetapan dan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh Allah. Dan hukum membuat semuanya bisa dikalkulasi: وَاللّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (wallāhu sarī’ul-hisāb, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya). Andai kata manusia mampu menjangkau semua variabel yang berpengaruh pada terwujudnya suatu peristiwa, niscaya manusia akan mampu mengetahui dengan presisi yang tepat apa, kapan, dan bagaimana kelak wujud peristiwa atau nasib yang akan menimpanya. Di dalam wilayah kekuasaan-Nya. Kata  (sarī’, sangat cepat), bagi Allah, bukanlah dalam maknanya yang berwaktu, seperti bayangan manusia. Melainkan dalam maknanya yang majasi, agar manusia dapat memahami ‘perbuatan’-Nya. Dalam menghitung, Dia tidak butuh ruang dan waktu. Juga tidak butuh variabel-variabel. Tidak butuh formula-formula dan rumus-rumus. Tidak butuh perhitungan-perhitungan. Tidak butuh angka-angka dan kata-kata. Semua kebinekaan yang terhampar di halaman indera dan nalar manusia terjadi dalam ketunggalan Wujud dan Zat-Nya. Sehingga, bahkan, jauh sebelum peristiwa itu terjadi, pun Dia sudah mengetahuinya. Sebab rasio manusia—yang digunakan untuk memilih dan menghitung langkah-langkah pewujudan suatu peristiwa—pun berada di dalam pikiran-Nya. Ketika Allah menutup ayat ini dengan ungkapan وَاللّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (wallāhu sarī’ul-hisāb, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya), yang Dia kehendaki ialah agar manusia mengerti bahwasanya perbuatan manusia dan perbuatan-Nya tidak ada jarak. Tidak ada jarak waktu. Tidak ada jarak ruang. Karena ruang dan waktu adalah juga ‘perbuatan’-Nya.
Bagi makhluk, kecepatan adalah penggunaan waktu lebih singkat dari waktu yang semestinya, atau diduga sebelumnya. Betapa tidak cepat perhitungan Allah,sedang Dia tidak memerlukan waktu untuk menyelesaikan sesuatu,“Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, jadilah! Maka jadilah ia.”(QS. Yasin (36):82). Allah tidak perlu menanti selesainya satu pekerjaan untuk mengerjakan pekerjaan yang lain, karena Dia tidak terhalangi oleh apapun.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai tujuan pendidikan yang telah diuraikan di atas, Dapat kita ketahui bahwasanya Pendidikan merupakan usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an. Dan pendidikan itu sendiri membantu proses transformasi sehingga dapat mencapai kualitas yang diharapkan. Agar kualitas yang diharapkan dapat tercapai, diperlukan penentuan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan inilah yang akan menentukan keberhasilan dalam proses pembentukan pribadi manusia yang berkualitas dengan tanpa mengesampingkan peranan unsur-unsur lain dalam pendidikan seperti halnya akhlaqul karimah. Dalam proses penentuan tujuan pendidikan dibutuhkan suatu perhitungan yang matang, cermat, dan teliti agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh karena itu perlu dirumuskan suatu tujuan pendidikan yang menjadikan moral dan akhlaq sebagai basis rohaniah yang amat vital dalam setiap peradaban bangsa.

B. Saran
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Untuk mendapatkan pendidikan yang baik maka perlu adanya pemahaman terhadap dasar dan tujuan pendidikan secara mendalam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah.



DAFTAR PUSTAKA

Wahab, Rochmad. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, Yogyakarta : CV Aswaja Pressindo, 2011

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan terjemahnya juz 1-30. Surabaya: CV.Pustaka Agung Harapan, 1997.

Munawir, Ahmad Warson. Kamus Al Munawir Arab – Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, Cetakan ke-25. 2002.

Sayadi, Wajidi. Hadis Tarbawi. Jakarta: PT Pustaka Firdaus, Cetakan ke-4 2015

Sumber lain:
http://www.ibnukatsironline.com/2015/05/tafsir-surat