Sabtu, 18 Februari 2017

Makalah ILMU KALAM Hubungan Akal dengan Wahyu



HUBUNGAN AKAL DENGAN WAHYU
MAKALAH

logo stitma.jpg

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam
yang diampu oleh Dosen Jamal Ghofir S.Sos.,MA.

                   Penyusun      :        
·         Siti  Asrofi Khunainah
·         Siti  Mu’awanah
·         Septi Widya Pangestutik




JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKHDUM IBRAHIM (STITMA)
TUBAN
2 0 1 5 / 2 0 1 6




BAB I
PENDAHULUAN
1.1.      Latar Belakang
            Alloh menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada diri manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standart seseorang diberikan beban taklif dan sebuah hukum. Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan peliharanya kelima unsure tersebut, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
            Agama mengajarkan agama pada dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi komunikasi dari Tuhan kepada manusia. Dan yang Kedua,melalui jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan.
            Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolute, sementara pengetahuan yang diperoleh melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relative, yang memerlukan pengujian secara terus-menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun Nasution, 1981: 1)
1.2.      Rumusan Masalah
            Berangkat dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diajukan adalah :
1.      Apakah pengertian akal dan wahyu?
2.      Bagaimana hubungan antara akal dan wahyu?
1.3.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui pengertian dari akal dan wahyu
2.      Untuk mengetahui hubungan akal dengan wahyu.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1.      Pengertian Akal dan Wahyu
a.      Pengertian Akal
Kata Akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql ( ألعقل ) , bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat luas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya.
Dalam pandangan para filosof islam kata al-‘aql mengandung arti yang sama dengan kata Yunani nouse, yang berarti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa (al-nafs atau al-ruh) manusia.
Al-Kindi (796-873 M) menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, yaitu daya nafsu yang berada di perut, daya berani yang bertempat di dada dan daya berfikir yang berpusat di kepala. Ibnu Miskawaih (941-1030 M) juga memberikan pembagian yang sama, menurutnya daya terendah adalah daya bernafsu, daya tertinggi adalah daya berfikir, dan daya berani mengambil posisi diantara keduanya. Filosof lain juga memberikan pembagian tiga pula, tetapi sejalan dengan filsafat Aristoteles, mereka menyebutnya bukan tiga daya, tetapi tiga jiwa, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa manusia. jiwa manusia inilah merupakan pusat daya berfikir yang disebut akal.[1]
Sedangkan menurut para ahli, Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu,  Dia-lah yang membedakan manusia dari makhluk lain.[2]
Abu Huzail mengatakan bahwa akal merupakan daya untuk memperoleh pengetahuan dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda yang lain dan untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan. [3]



b.      Pengertian Wahyu
Kata Wahyu  (الوحي ) secara etimologis mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Wahyu juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan terjadi dengan cepat. Secara konseptual, istilah wahyu menunjukkan kepada nama-nama yang lebih popular seperti Al-Kitab, Al-Qur’an, Risalah, dan Balagh.[4] Kata wahyu lebih populer dikenal dalam pengertian apa yang diwahyukan Allah kepada para Nabi.[5]
Dalam terminology Islam, wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW itu dinamakan Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kitab dan firman Alloh yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Menurut Muhammad Abduh dalam Risalatut Tauhid, berpendapat bahwa wahyu adalah pengetahuan yang didapatkan oleh seseorang dalam dirinya sendiri disertai keyakinan bahwa semua itu datangnya dari Alloh SWT, baik melalui perantara maupun tanpa perantara.

2.2.      Hubungan antara Akal dengan Wahyu
Akal adalah potensi berharga yang diberikan Allah SWT hanya kepada manusia, anugerah tersebut diberikan Allah SWT untuk membekali manusia yang mengemban misi penting menjadi khalifah fil ardi, dengan kata lain manusia sebagai duta kecil Allah SWT.
Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk memenaklukan kekuatan mahkluk lain di sekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupanya untuk mengalahkan mahluk lain. Bertambah rendah akal manusia, bertambah rendsh pulalah kesanggupanya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah Hubungan Antara Akal dan Wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan antara akal dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada wahyu.Akal dipakai untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Yang bertentangan adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat Mu’tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada Allah SWT, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk; indah dan jelek; bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu belum turun.[6]
Menurut Mu’tazilah, seluruh pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, termasuk  mengetahui adanya Tuhan dan kewajiban beribadah kepada Tuhan. Abu Huzail, menegaskan bahwa meskipun wahyu tidak turun, maka manusia tetap wajib beribadah kepada Tuhan, sesuai dengan pengetahuannya tentang Tuhan. Begitu juga dengan kebaikan dan keburukan juga dapat diketahui melalui akal.Jika dengan akal manusia dapat mengetahui baik dan buruk, maka dengan akal juga manusia harus tahu bahwa melakukan kebaikan itu adalah wajib, dan menjauhi keburukan juga wajib.[7]
Menurut Asy’ariyah, pertama semua kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Jika wahyu tidak turun, maka tidak ada kewajiban (taklif) bagi manusia.Karena akal tidak mampu membuat kewajiban tersebut, terutama kewajiban beribadah pada Tuhan, dan kewajiban melakukan yang baik serta kewajiban menjauhi yang buruk.[8]
            Adapun berkaitan dengan mengetahui Tuhan, Asy’ariyah sepakat dengan Mu’tazilah yaitu dapat diketahui melalui akal.Sedangkan mengetahui baik dan buruk, akal tidak mampu, karena sifat baik dan buruk sangat terkait dengan syari’at. Sesuatu disebut  baik, jika dapat pujian syari’at, dan dianggap buruk jika dikecam oleh syari’at. Karena pujian dan kecaman bersumber dari wah yu, maka sesuatu dapat dikatakan baik atau buruk juga melalui wahyu.[9]





BAB III
PENUTUP
3.1.      Kesimpulan
Akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu, yang di dalamnya terdapat kemungkinan bahwa pemahaman yang didapat oleh akal bisa salah juga bisa benar.Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umat.Pengetahuan adalah hubungan subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas.
Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan bagi umat manusia.Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat ruang dimana keduanya harus berpisah.Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sains dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan untuk akal agar berpikir dengan dinamis, kreatif dan terbuka, disanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu. Sehingga hubungan antara akal dan wahyu tidak bertentangan akan tetapi sangat berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan kedua-duanya saling menyempurnakan.

3.2.      Saran
Sebagai umat islam kita harus selalu menggali ilmu pengetahuan yang berguna  bagi umat manusia. Dan agar kita dapat mengaplikasikan ilmu yang di peroleh untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia dan menjadikan Al Quran dan Al Sunnah sebagai pegangan hidup karena keduanya merupakan sumber ilmu yang paling utama.

3.3.      Penutup
Demikian makalah ini kami buat dan kami sampaikan kepada pembaca sekalian. Makalah ini dibuat bukan semata – mata dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah, pada akhirnya kami berharap agar makalah ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan bagi kita semua.




DAFTAR  PUSTAKA

Nasution, Harun. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press. 1986
Navis, Abdurrahman dkk., Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Surabaya: Khalista. 2012
Tim Guru MGPK. Ilmu Kalam kelas XII. Mojokerto: CV. Mutiara Ilmu. 2012


[1]  Harun Nasution, Akal Dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta, UI Press 1986, h.80
[2]  Ibid, h.81
[3] Ibid, h.82
[4]  Nash Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta:LKIS, 2001, h.33.
[5]  Supiana & M. Karman, Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004, h. 192

[6] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandinga, Jakarta: UI Press, 1872, h.80
[7] Ibid, h.81
[8] Ibid, h.81
[9] Ibid, h.83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar