BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal
kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan
hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci.
Objek pembahasan dari ushul fiqh itu sendiri adalah dalil-dalil syara’. Hukum
syar’i ialah khithab pencipta syari’at yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan orang mukallaf. Yang mengandung suatu tuntutan atau pilihan
yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya
sesuatu yang lain. Hukum syar’i di bagi menjadi dua macam, yaitu Hukum Taklifi
dan Hukum Wadh’i.
Pembahasan Ushul fiqih adalah seputar hukum,
dalil-dalil dan pembagiannya, teori pengambilan hukum dari dalil dan kode etik
seorang pengambil hukum. Rukun hukum ada empat yaitu : hakim, mahkum alaih,
mahkum fiih dan hukum itu sendiri. Dari sini hakim adalah salah satu rukun
hukum dari rangkaian rukun-rukun hukum. Persoalan tentng hakim adalah penting
Dalam makalah ini. Kami akan membahas tentang
hukum wadh’i berikut pembagiannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat kami simpulkan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa pengertian hukum wadh’i beserta pembagiannya ?
2. Apakah pengertian al-hakim ?
3. Apakah akal dapat di posisikan sebagai hakim ?
4. Dimanakah posisi akal yang sebenarnya di hadapan syari’ah ?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, berikut tujuan penulisannya :
1. Mengetahui hukum wadh’i dan pembagiannya
2. Mengetahui pengertian al-hakim
3. Mengetahui benar atau tidaknya memposisikan akal sebagai hakim
4. Mengetahui posisi dalil akal yang sebenarnya dalam menentukan sebuah hukum
syari’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i ialah, firman Allah yang
berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau
halangan dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya,
hukum wadh’i sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuk
sebab (sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu hukum taklifi. Atau
dalam bentuk syarat (syarat), sehingga di mungkinkan berlakunya (masyruth)
suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani), sehingga suatu hukum
taklifi menjadi tidak terlaksana (mamnu’). Di samping itu, termasuk pula dalam
pembahasan hukum wadh’i. Pembahasan yang berkaitan dengan ‘azimah (hukum yang
berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhsah (keringanan). Ash-Sihhah (sah) dan
al-buthlan (batal). Dengan demikian, pembahasan tentang hukum wadh’i berkaitan
dengan tujuh hal utama yaitu, sabab, syarth, mani, ‘azimah, rukhsah , ash-sihhah
dan al-buthlan. Untuk jelasnya, di bawah ini kami uraikan secara lebih terinci.
Macam-macam Hukum Wadh’i
1. Sebab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Sedang menurut istilah adalah sesuatu
yang di jadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan
keberadaan musabab dengan ketiadaannya. Hukum syara’ kadang-kadang diketahui
melalui tanda yang menunjukkan bahwa perbuatan itu menjadi kewajiban mukallaf.Contohnya
: melakukan perbuatan yang di larang seperti berzina yang di kenakan dengan
hukuman dera 100 kali. Apabila perzinaan tidak di lakukan maka hukuman dera
tidak di kenakan. Tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dhuhur,
apabila matahari belum tergelincir maka sholat dhuhur belum wajib.
2. Syarat
Ialah sesuatu yang berada diluar hukum syara’,tetapi
keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada,
hukumpun tidak ada. Tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum
syara’. Contohnya : yang membuat sholat menjadi sah adalah wudhu dan jika tanpa
melakukan wudhu terlebih dahulu maka sholat tidak dapat di laksanakan, namun
orang yang berwudhu tidak wajib melaksanakan sholat. Syarat ini juga di bagi
menjadi 2 yaitu syarat asy-syar’iyyah, misal apabila akad nikah akan di
laksanakan maka harus di sahkan dengan adanya 2 orang saksi dan syarat
al-ja’liyah yaitu mengenai talak yang di ucapkan suami pada istrinya.
3. Mani’
Menurut bahasa berarti penghalang, sedangkan
dari segi istilah yang dimaksud dengan mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan
oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan hukum atauketiadaan sebab,
maksudnya batalnya sebab itu. Dalam arti lain, mani’ yaitu hukum yang mengatur
tentang warisan yang jika ahli waris membunuh orang yang hendak memberikan
warisan maka akan terhalang dengan adanya hukum mani’. Contohnya hubungan suami
istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan
(waris-mewarisi). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan bagian warisan
dari harta ayah atau suami yang wafat sesuai
dengan bagian masing-masing, akan tetapi hak mewarisi ini bisa terhalang
apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah tersebut.
4. ‘Azimah
Adalah hukum-hukum yang di syari’atkan oleh
Allah pada seluruh hambanya sejak semula. Maksudnya belum ada hukum sebelum
hukum itu di syari’atkan oleh Allah. Misalnya : jumlah sholat dhuhur adalah
empat rakaat. Jumlah rakaat ini di tetapkan Allah sejak semula, dimana tidak
ada hukum lain yang menetapakan jumlah rakaat sholat dhuhur. Hukum tentang
sholat dhuhur tersebut adalah empat rakaat.
5. Rukhsah
Adalah hukum-hukum yang di syari’atkan untuk keringanan
bagi mukallaf dalam keadaan tertentu. Adapun contohnya yaitu :
a. Rukhsah untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan syari’at yang umum
di haramkan, karena darurat atau kebutuhan. Misal : boleh memakan daging babi
jika keadaan darurat, dimana tidak terdapat makanan selain itu yang jika tidak
di makan maka jiwa seseorang akan terancam.
b. Rukhsah untuk meninggalkan yang menurut aturan syari’at yang umum di
wajibkan, karena kesulitan melaksanakannya. Misal : barangsiapa dalam keadaan
sakit atau bepergian pada bulan ramadlan, maka ia di perbolehkan untuk buka
puasa.
6. Ash-shihah
Menurut bahasa berarti sah, sedang menurut
istilah adalah tercapainya sesuatu yang di harapkan secara syara’, apabila
sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada dan berhasil memenuhi
kehendak syara’ pada perbuatan itu. Contohnya : seseorang melaksanakan sholat
dengan memenuhi rukun, syarat dan sebab, serta orang yang sholat itu terhindar
dari mani’ atau terhalang. Apabila sholat dhuhur akan di laksanakan, sebab
wajibnya sholat itu sudah ada yaitu matahari telah tergelincir, orang yang
sholat itu telah berwudhu dan tidak ada mani’ dalam mengerjakan sholat tersebut
maka sholat yang di kerjakan tersebut sah.
7. Al-buthlan
Menurut bahasa berarti batal, rusak dan gugur
hukumnya. Secara istilah ialah tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas
dari sasarannya, menurut pandangan syara’. Maksudnya, tindakan hukum yang
bersifat syar’i tidak memenuhi ketentuan yang di tetapkan oleh syara’, sehingga
apa yang dikehendaki oleh syara’ dari perbuatan tersebut lepas sama sekali (tidak
tercapai). Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi rukun atau tidak memenuhi
syarat, atau suatu perbuatan di laksanakan ketika ada mani’(penghalang).
Perbuatan seperti itu dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya :
dalam persoalan ibadah yaitu orang yang melaksanakan ibadah sholat harus
memnuhi rukun dan syaratnya, apabila ada penghalang seperti haid atau nifas
maka sholatnya tidak sah atau batal.
1. Pengertian Hakim
Hakim menurut bahasa mempunyai dua arti, yaitu
: Pertama, pembuat hukum,yang menetapkan, memunculkan sumber hukum. Kedua, yang
menemukan, memperkenalakan dan menyingkapkan hukum. Sedangkan menurut istilah
adalah Allah yang mensyari’atkan dan pemberi beban makhluk dengan hukum-hukum.
Para ulama’pun tidak berselisih pendapat bahwa hakim yang sesungguhnya adalah
Allah. Dialah yang maha perkasa diatas hambaNya dan tidak akan terjadi sesuatu
kecuali sesuai kehendakNya. Dialah yang memberikan perintah dan memberikan
larangan kepada hambanya. Dan yang wajib bagi hamba adalah mentaatinya, hingga
di peroleh pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang berbuat maksiat.
2. Memposisikan Akal Sebagai Hakim
Dalil-dalil hukum ada empat, yaitu : Al-Quran,
Hadits, Ijma’ dan dalil akal. Ketika diteliti dengan sebenarnya, maka dalil
hukum hanya satu yaitu firman Allah SWT, karena sabda Rasulullah SAW, bukan
merupakan hukum dan tidak menetapkannya. Ia berstatus sebagai pemberi kabar
firman-firman Allah SWT. Ijma’ ulama juga tidak bisa disebut sebagai dalil
hukum dalam arti yang sebenarnya, sebab ia menunjukkan sabda rasul. Akal juga
demikian, ia hanya berstatus penafian hukum ketika firman Allah dan sabda rasul
tidak di temukan.
3. Akal Sebagai Penemu Hukum
Sudah jelas bahwa akal bukan sebagai pencipta
hukum menurut Jumhur Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Ketika akal merupakan bagian
dari dalil-dalil syari’ah maka posisi akal adalah sebagai penemu (al-mudrik)
hukum, bukan sebagai pencetus hukum (al-hakim). Jadi, yang benar adalah
dikatakan “ Hukum Syara’ di temukan oleh akal “, tidak boleh di katakan, “ ilmu
syara’ di wajibkan akal”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Kami menyadaribahwadalampenulisanmakalahinimasihbanyakmemilikikekuranganbaikdarisegiisimaupunpenulisannya.Makadariitu
kami menerimasemua saran dantanggapan yang teman-temansemuaberikan.
Atas saran dan
tanggapannya kami sebagai penyaji makalah mengucapkan terima kasih, semoga apa
yang ada didalam makalah ini dapat kita ambil manfaatnya dan dapat kita
terapkan dalam kehidupan sehari-hari selama itu tidak bertentangan dengan agama
kita yakni Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar