Sabtu, 18 Februari 2017

Makalah Ushul Fiqih Hukum Wadhí dan Pembagiannya








BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci. Objek pembahasan dari ushul fiqh itu sendiri adalah dalil-dalil syara’. Hukum syar’i ialah khithab pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf. Yang mengandung suatu tuntutan atau pilihan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya sesuatu yang lain. Hukum syar’i di bagi menjadi dua macam, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.
Pembahasan Ushul fiqih adalah seputar hukum, dalil-dalil dan pembagiannya, teori pengambilan hukum dari dalil dan kode etik seorang pengambil hukum. Rukun hukum ada empat yaitu : hakim, mahkum alaih, mahkum fiih dan hukum itu sendiri. Dari sini hakim adalah salah satu rukun hukum dari rangkaian rukun-rukun hukum. Persoalan tentng hakim adalah penting
Dalam makalah ini. Kami akan membahas tentang hukum wadh’i berikut pembagiannya.
B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat kami simpulkan rumusan masalah sebagai berikut :

1.      Apa pengertian hukum wadh’i beserta pembagiannya ?
2.      Apakah pengertian al-hakim ?
3.      Apakah akal dapat di posisikan sebagai hakim ?
4.      Dimanakah posisi akal yang sebenarnya di hadapan syari’ah ?


C.    Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah di atas, berikut tujuan penulisannya :

1.      Mengetahui hukum wadh’i dan pembagiannya
2.      Mengetahui pengertian al-hakim
3.      Mengetahui benar atau tidaknya memposisikan akal sebagai hakim
4.      Mengetahui posisi dalil akal yang sebenarnya dalam menentukan sebuah hukum syari’ah




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i ialah, firman Allah yang berbentuk ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau halangan dari suatu ketetapan hukum taklifi. Oleh karena itu, pada hakikatnya, hukum wadh’i sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi, baik dalam bentuk sebab (sabab), sehingga melahirkan akibat (musabbab) suatu hukum taklifi. Atau dalam bentuk syarat (syarat), sehingga di mungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum taklifi, ataupun dalam bentuk halangan (mani), sehingga suatu hukum taklifi menjadi tidak terlaksana (mamnu’). Di samping itu, termasuk pula dalam pembahasan hukum wadh’i. Pembahasan yang berkaitan dengan ‘azimah (hukum yang berlaku umum dan keadaan normal) dan rukhsah (keringanan). Ash-Sihhah (sah) dan al-buthlan (batal). Dengan demikian, pembahasan tentang hukum wadh’i berkaitan dengan tujuh hal utama yaitu, sabab, syarth, mani, ‘azimah, rukhsah , ash-sihhah dan al-buthlan. Untuk jelasnya, di bawah ini kami uraikan secara lebih terinci.
Macam-macam Hukum Wadh’i
1.      Sebab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Sedang menurut istilah adalah sesuatu yang di jadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan mengkaitkan keberadaan musabab dengan ketiadaannya. Hukum syara’ kadang-kadang diketahui melalui tanda yang menunjukkan bahwa perbuatan itu menjadi kewajiban mukallaf.Contohnya : melakukan perbuatan yang di larang seperti berzina yang di kenakan dengan hukuman dera 100 kali. Apabila perzinaan tidak di lakukan maka hukuman dera tidak di kenakan. Tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dhuhur, apabila matahari belum tergelincir maka sholat dhuhur belum wajib.

2.      Syarat
Ialah sesuatu yang berada diluar hukum syara’,tetapi keberadaannya hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukumpun tidak ada. Tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Contohnya : yang membuat sholat menjadi sah adalah wudhu dan jika tanpa melakukan wudhu terlebih dahulu maka sholat tidak dapat di laksanakan, namun orang yang berwudhu tidak wajib melaksanakan sholat. Syarat ini juga di bagi menjadi 2 yaitu syarat asy-syar’iyyah, misal apabila akad nikah akan di laksanakan maka harus di sahkan dengan adanya 2 orang saksi dan syarat al-ja’liyah yaitu mengenai talak yang di ucapkan suami pada istrinya.

3.      Mani’
Menurut bahasa berarti penghalang, sedangkan dari segi istilah yang dimaksud dengan mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan hukum atauketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu. Dalam arti lain, mani’ yaitu hukum yang mengatur tentang warisan yang jika ahli waris membunuh orang yang hendak memberikan warisan maka akan terhalang dengan adanya hukum mani’. Contohnya hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan bagian warisan dari harta ayah atau suami yang wafat sesuai  dengan bagian masing-masing, akan tetapi hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah tersebut.

4.      ‘Azimah
Adalah hukum-hukum yang di syari’atkan oleh Allah pada seluruh hambanya sejak semula. Maksudnya belum ada hukum sebelum hukum itu di syari’atkan oleh Allah. Misalnya : jumlah sholat dhuhur adalah empat rakaat. Jumlah rakaat ini di tetapkan Allah sejak semula, dimana tidak ada hukum lain yang menetapakan jumlah rakaat sholat dhuhur. Hukum tentang sholat dhuhur tersebut adalah empat rakaat.

5.      Rukhsah
Adalah hukum-hukum yang di syari’atkan untuk keringanan bagi mukallaf dalam keadaan tertentu. Adapun contohnya yaitu :
a.       Rukhsah untuk melakukan perbuatan yang menurut ketentuan syari’at yang umum di haramkan, karena darurat atau kebutuhan. Misal : boleh memakan daging babi jika keadaan darurat, dimana tidak terdapat makanan selain itu yang jika tidak di makan maka jiwa seseorang akan terancam.
b.      Rukhsah untuk meninggalkan yang menurut aturan syari’at yang umum di wajibkan, karena kesulitan melaksanakannya. Misal : barangsiapa dalam keadaan sakit atau bepergian pada bulan ramadlan, maka ia di perbolehkan untuk buka puasa.

6.      Ash-shihah
Menurut bahasa berarti sah, sedang menurut istilah adalah tercapainya sesuatu yang di harapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syarat terpenuhi, halangan tidak ada dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada perbuatan itu. Contohnya : seseorang melaksanakan sholat dengan memenuhi rukun, syarat dan sebab, serta orang yang sholat itu terhindar dari mani’ atau terhalang. Apabila sholat dhuhur akan di laksanakan, sebab wajibnya sholat itu sudah ada yaitu matahari telah tergelincir, orang yang sholat itu telah berwudhu dan tidak ada mani’ dalam mengerjakan sholat tersebut maka sholat yang di kerjakan tersebut sah.

7.      Al-buthlan
Menurut bahasa berarti batal, rusak dan gugur hukumnya. Secara istilah ialah tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari sasarannya, menurut pandangan syara’. Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhi ketentuan yang di tetapkan oleh syara’, sehingga apa yang dikehendaki oleh syara’ dari perbuatan tersebut lepas sama sekali (tidak tercapai). Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi rukun atau tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan di laksanakan ketika ada mani’(penghalang). Perbuatan seperti itu dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl). Misalnya : dalam persoalan ibadah yaitu orang yang melaksanakan ibadah sholat harus memnuhi rukun dan syaratnya, apabila ada penghalang seperti haid atau nifas maka sholatnya tidak sah atau batal.



1.      Pengertian Hakim
Hakim menurut bahasa mempunyai dua arti, yaitu : Pertama, pembuat hukum,yang menetapkan, memunculkan sumber hukum. Kedua, yang menemukan, memperkenalakan dan menyingkapkan hukum. Sedangkan menurut istilah adalah Allah yang mensyari’atkan dan pemberi beban makhluk dengan hukum-hukum. Para ulama’pun tidak berselisih pendapat bahwa hakim yang sesungguhnya adalah Allah. Dialah yang maha perkasa diatas hambaNya dan tidak akan terjadi sesuatu kecuali sesuai kehendakNya. Dialah yang memberikan perintah dan memberikan larangan kepada hambanya. Dan yang wajib bagi hamba adalah mentaatinya, hingga di peroleh pahala bagi yang taat dan siksa bagi yang berbuat maksiat.

2.      Memposisikan Akal Sebagai Hakim
Dalil-dalil hukum ada empat, yaitu : Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan dalil akal. Ketika diteliti dengan sebenarnya, maka dalil hukum hanya satu yaitu firman Allah SWT, karena sabda Rasulullah SAW, bukan merupakan hukum dan tidak menetapkannya. Ia berstatus sebagai pemberi kabar firman-firman Allah SWT. Ijma’ ulama juga tidak bisa disebut sebagai dalil hukum dalam arti yang sebenarnya, sebab ia menunjukkan sabda rasul. Akal juga demikian, ia hanya berstatus penafian hukum ketika firman Allah dan sabda rasul tidak di temukan.

3.      Akal Sebagai Penemu Hukum
Sudah jelas bahwa akal bukan sebagai pencipta hukum menurut Jumhur Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Ketika akal merupakan bagian dari dalil-dalil syari’ah maka posisi akal adalah sebagai penemu (al-mudrik) hukum, bukan sebagai pencetus hukum (al-hakim). Jadi, yang benar adalah dikatakan “ Hukum Syara’ di temukan oleh akal “, tidak boleh di katakan, “ ilmu syara’ di wajibkan akal”.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
















B.     Saran

Kami menyadaribahwadalampenulisanmakalahinimasihbanyakmemilikikekuranganbaikdarisegiisimaupunpenulisannya.Makadariitu kami menerimasemua saran dantanggapan yang teman-temansemuaberikan.

Atas saran dan tanggapannya kami sebagai penyaji makalah mengucapkan terima kasih, semoga apa yang ada didalam makalah ini dapat kita ambil manfaatnya dan dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari selama itu tidak bertentangan dengan agama kita yakni Islam.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar