Sabtu, 18 Februari 2017

MAHKUM FIIH (Makalah Ushul Fiqih)



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatNya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang hukum syar’i.
Sebelum kita mempelajari banyak ilmu tentang fiqih, setidaknya kita mempelajari bagaimana hukum-hukum fiqih menurut syara’ terlebih dahulu. Setiap hukum-hukum syar’i itu tidak dapat bersangkutan dengan salah satu perbuatan mukallaf dari segi tuntutan, menyuruh pilih atau menempatkan. Dari suatu ketetapan dikatakan bahwa yang berarti itu tidak lain dari dengan perbuatan. Artinya hukum syar’i itu tidak  bersangkut selain perbuatan mukallaf. 

B.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1.      Apa pengertian Mahkum fih?
2.      Apa saja syarat-syarat mahkum fih?
3.      Apa saja macam-macam mahkum fih?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul fiqih menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakna istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah maupun yang dilarang.
Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksudkan dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasulnya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terdapat perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.
Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:

1.       Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah:43
وَاَقِيْمُوا الصًلوةَ { البقرة:43}
Artinya: “dirikanlah  shalat...” ( QS Al-Baqarag:43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang  mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan sholat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.
2.    Firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am:13
وَلاَ نَقْتُلُوا النًفْسَ الًتِىْ حَرًمَ الله اِلاً بِلْحَقِّ..... { الأنعام: 151}
Artinya: “ janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan  allah melainkan dengan suatu (sebab) yang benar...” (QS.Al-An’am:151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa haq, maka pembunuhan tanpa haq itu hukumnya haram.
3.      Rasulullah SAW. Bersabda:
لاَيَرِثُ الْقَاتِلُ { رواه ابوداود ومالك واحمد بن حنبل}
Artinya: “pembunuh tidak mewarisi.” ( HR. Abu Dawud, Imam Malik, dan Ahmad Ibn Hanbal).
Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak mendapat harta warisan adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalangn (mani) untuk menerima waris.
Dengan uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya dengan hukum syara’. Jadi perbuatan manusia yang berkaitan dengan hukum syara’ itulah dinamakan mahkum fih dalam hukum Islam.
B.     Syarat Mahkum Fih
Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat :
a.       Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil melaksanakan itu ada suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlaawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada , dan mustahil menurut adat yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
b.      Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya abu lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
c.       Pekerjaan yang sukar sekali dilakukan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk dibawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilakasanakan.
d.      Pekerjan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaraan yang luar biasa. Pekerjaan yang demikian adakalanya hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki kesukaran dan adakalanya juga bukan karena kehendak mukallaf dan ikhtiarnya.

Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
1.      Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuan dapat ditangkap dengan jelas dan sempurna sebagaimana ia dituntut.
            Maka berdasarkan hal tersebut, nash-nash al-Qur’an yang sifatnya masih mujmal, yakni yang belum dijelaskan maksudnya, tidak sah mentaklifkannya kepada mukallaf, kecuali sesudah Rasulullaah SAW menjelaskan nash-nash al-Qur’an yang masih global tadi. Misalnya firman Allah SWT :
" وَاَقِيْمُ الصَّلَاةَ "
Artinya : “...dan dirikanlah shalat..”
            Nash al-Qur’an tersebut masih mujmal, belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya. Bagaimanakah orang yang tidak mengetahui rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya di taklif untuk mengerjakan shalat? Oleh karena itulah, maka Rasulullah SAW menjelaskan kemujmalan nash tersebut, sekaligus memberikan contoh sebagaimana sabdanya :
" صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّىْ "
Artinya : “lakukan shalat sebagaimana kamu melihatku shalat”.
Begitu pula perintah-perintah syara’ lainnya, seperti zakat, puasa, dan sebgainya.  Tuntutan untuk melaksanakannya tidak sah sebelum diketahui syarat-syarat, rukun, waktu dan sebagainya. Oleh karena itulah, maka Allah SWT memberikan otoritas penjelasan melalui rasulnya, sebagaimana FirmanNya yangArtinya : “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).
            Rasulullah SAW menjelaskan apa yang mujmal dalam Al-Qur’an melalui sunnahnya baik yang berupa qauliyah, maupun fi’liyah.
2.      Mukallaf harus mengetahui sumber takiif.
            Seseorang harus mengetahui bahwa pentaklifan itu datang dari orang yang mempunyai otoritas untuk memberikan taklif yaitu Allah SWT. Sehingga dengan pengetahuan itu ia dapat melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata.
            Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf  tentang apa yang dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya. Oleh karena itu ketika seseorang telah dinyatakan baligh dalam keadaan berakal dan diperkirakan mampu mengetahui hukum-hukum syara’, baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan cara bertanya kepada para ulama’, maka sudah bisa dinyatakan bahwa ia mengetahui dan menanggung beban syari’at, serta tidaklah diterima suatu alasan karena kebodohan atau ketidak-tahuaannya. Sesuai dengan pendapat para fuqaha: “tidaklah diterima di dunia Islam udzur (halangan) yang disebabkan oleh kebodohan.
            Dan diantara sebab adanya pernyataan tentang “dimungkinkan mengetahui hukum”, itu karena apabila disyaratkan seorang mukallaf harus mengetaahui tuntutan yang dibebankan kepadanya, maka perbuatan yang harus dilakukan itu tidak akan terwujud. Dan akan banyak sekali manusia yang berhalangan karena tidak mengetahui hukum syara’
Jadi, setiap hukum syara’ yang mukallaf mungkin mengetahui dalilnya, dan mengetahui bahwa dalilnya adalah hujjah syar’iyah, maka mukallaf wajib mengikuti apa yang diambil dari dalil itu. Baik pengambilannya melalui akal pikirannya sendiri atau melalui perantara, semisal bertanya kepada orang yang mengetahuinya.
C.    Macam–Macam Mahkum Fih
Para ulama ushul fiqh membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri, dan dari segi keberadaan secara material dan syara.
a.    Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih dibagi menjadi empat macam, yaitu:
1.      Semata-mata hak Allah, yaitu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak ini semata-mata hak Allah. Dalam hal ini ada delapan macam, yaitu:
a)      Ibadah mahdhah (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b)      Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah.
c)      Bantuan atau santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat yang dikeluarkan dari bumi.
d)     Biaya atau santunan yang mengandung makna hukuman, seperti khoroj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e)      Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana, seperti hukuman bagi orang yang berbuat zina (dera atau rajam), pencurian (potong tangan).
f)       Hukuman yang tidak sempurna seperti orang yang tidak diberi hak waris, karena membunuh pemilik harta tersebut.
g)      Hukuman yang mengandung makna ibadah seperti, kafarat orang yang melakukan senggama di siang hari pada bulan ramadhan.
h)      Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang.
2.    Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak, seperti hak-hak kepemilikan., dan pemanfaatan hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digugurkan oleh pemiliknya.
3.   tara hak Allah dengan hak hamba. Tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan, man menuduh orang lain berbuat zina. Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, hak ini termasuk hak Allah, dan dari sisi menghilangkan malu dari orang yang dituduh, hak ini termasuk hak pribadi.
4.   Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba lebih dominan, seperti masalah qishas. Hak Allah dalam masalah qishas berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak halal dibunuh. Sedangkan hak hamba adalah menjamin kemaslahatan hak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi karena dalam pelaksanaan qishas sepenuhnya diserahkan kepada ahli waris terbunuh dan mereka berhak menggugurkan hukuman tersebut, maka hak hamba Allah dianggap lebih dominan.  
b.      Dari segi keberadaannya secara materil dan syara, mahkum fih dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1)      Kebutuhan yang secara materil ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara, seperti makan dan minum. Makan dan kinum tidak terkait dengan hukum syara.
2)      Perbuatan yang secara materil ada dan menjadi sebab adanya hukum syara, seperti perzinaan, pencurian dan pembunuhan. Yaitu hukum qishas.
3)      Perbuatan yang secara materil ada dan baru bernilai syara apabila memenuhi rukun dan syarat yang telah ditentukan, seperti shalat dan zakat.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i. Adapun syarat mahkum fih yaitu Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan  sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelumnya  dia tahu persis rukun, syarat, dan  cara-cara shalat tersebut.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari allah SWT, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah allah semata. sebenarnya, hal itu sama dengan hukum yang berlaku yang positif, yakni tidak ada keharusan untuk mengerjakannya suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Adapun macam-macam mahkum fih terbagi menjadi dua segi yaitu keberadaan secara material dan syara’dan dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu.

B.        Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.





DAFTAR  PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.

Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.

Khallaf, Syekh Abdulwahab. 1990. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.

Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia

Uman, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar