Sabtu, 18 Februari 2017

NASIKH MANSUKH (UTS Ulumul Qur'an)



MAKALAH
ULUM AL-QUR’AN
( Membahas tentang Nasikh Wal Mansukh )
logo stitma final.jpg











Dosen Pembimbing        :           Drs. KH. Fathul Amin, M.Pd.I

Disusun oleh                     :           Siti Asrofi Khunainah



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKHDUM IBRAHIM (STITMA)
2 0 1 5



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rohmah, hidayah serta inayahnya, sehingga kami bisa menjalani kehidupan ini sesuai ridho-Nya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan rencana. Makalah ini kami beri judul “Membahas tentang Nasikh Wal Mansukh”
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabiyulloh Muhammad SAW. Karena Beliau adalah salah satu figure ummat yang mampu memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.
Selanjutnya, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. KH. Fathul Amin, M.Pd.I., selaku dosen mata kuliah Ulum Al-Qur’an, yang telah membimbing kami. Dan kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini hingga selesai.
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya. Kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan makalah selanjutnya.



Penyusun,


Siti Asrofi Khunainah






i




DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL                                    
KATA PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………….ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang……………………………………………………………1
B.     Rumusan Masalah...………………………………………………………1
C.     Tujuan Penulisann...………………………………………………………1
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Pengertian Nasikh dan Mansukh…………………………………………2
B.     Urgensi mempelajari konsep Nasikh dan Mansukh……………………...6
C.     Persamaan dan perbedaan Nasakh dan Takhshish……………………….7
D.    Macam-macam Nasakh dan Jenis-jenisnya……………………………....9
E.     Hikmah Allah mengadakan Nasakh……………………………………..10
BAB III : PENUTUP
A.    KESIMPULAN…………………………………………………………13
B.     KRITIK DAN SARAN………………………………………………....13
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..14








ii





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum Maqasid Al- Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh Mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh Mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari nasikh dan Mansukh?
2.      Bagaimana cara mengetahui Nasakh dan urgensinya?
3.      Apa persamaan dan perbedaan Nasakh dan Takhshish?
4.      Apa saja macam-macam Nasakh dan jenis-jenisnya?
5.      Apa hikmah Allah mengadakan Nasakh?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar kita bisa lebih mengenal tentang silsilah Nasikh wal Mansukh, serta lebih memudahkan kita untuk mempelajari lebih jauh lagi sehingga dalam proses mempelajarinya, kita tidak menemukan kesulitan.







BAB. II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN NASIKH DAN MANSUKH

Secara etimologi Nasakh dapat diartikan menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah (tahwil) dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ الى موضع.yaitu memindahkan sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
      a.      Hukum Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12) أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (13) [المجادلة/12، 13] 
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
13. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

      b.      Nasakh adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’ hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami Nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81] Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.

c.      رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهartinya mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang kemudian dari padanya.

Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 MeNasakh QS. Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272] Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

Al- Baqarah : 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ [البقرة/180] 
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
[112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini diNasakhkan dengan ayat mewaris.

Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasikh secara terminologi. Hal ini terlihat dari kontroversi yang muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an. Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
1.      Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
2.      Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik yang datang kemudian.
3.      Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius.
4.      Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa berlakunya hukum terdahulu.
Dengan demikian, mengacu pada definisi Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain :
a.  Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran (Sunah)
      b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Nisa’: 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c.  Dalil/ayat yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d.  Terdapat kontradiksi atau pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa dikompromikan
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Terdapat keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut MeNasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
      b.     Terdapat kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
      c.      Di ketahui dari salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS. Al-Mujadalah: 12 yang MeNasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika menghadap Rasul.

B. URGENSI MEMPELAJARI KONSEP NASIKH MANSUKH
Adanya nasikh-Mansukh  tidak  dapat  dipisahkan  dari  sifat turunnya   al-Qur'an  itu  sendiri  dan  tujuan  yang  ingin dicapainya. Turunnya  Kitab  Suci  al-Qur'an  tidak  terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu,  lalu  Qur'an sendiri  menjawab,  pentahapan  itu  untuk  pemantapan, [17] khususnya di bidang hukum. Dalam  hal  ini  Syekh  al-Qasimi berkata,  sesungguhnya  al-Khalik  Yang  Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama  23  tahun  dalam  proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu  mulanya bersifat  kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat  universal.  Demikianlah Sunnah   al-Khaliq   diberlakukan  terhadap  perorangan  dan bangsa-bangsa   dengan   sama.   Jika   engkau   melayangkan pandanganmu  ke  alam  yang  hidup  ini,  engkau  pasti akan mengetahui bahwa naskh  (penghapusan)  adalah  undang-undang alami   yang   lazim,  baik  dalam  bidang  material  maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari  unsur-unsur sperma  dan  telur  kemudian  menjadi  janin,  lalu  berubah menjadi  anak,  kemudian  tumbuh  menjadi  remaja,   dewasa, kemudian  orang  tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan bukti nyata, dalam alam  ini  selalu berjalan  proses tersebut secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi diingkari  terjadinya, mengapa  kita  mempersoalkan  adanya  penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang rendah ke  yang  lebih tinggi?  Apakah seorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung  membenahi  bangsa  Arab  yang masih  dalam  proses  permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah  mencapai  kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka  bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha Menentukan  hukum,  memberikan  beban  kepada suatu  bangsa  yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak akan bisa dilakukan  melainkan  oleh  suatu bangsa  yang  telah  menaiki  jenjang  kedewasaannya?  Lalu, manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita  yang  menurut sunnah  Allah  ditentukan  hukum-hukumnya  sendiri, kemudian di-Nasakh-kan  karena  dipandang  perlu  atau  disempurnakan hal-hal  yang  dipandang  tidak  mampu  dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah  syari'at-syari'at  agama lain  yang  diubah  sendiri  oleh  para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan  dari  rahmat-Nya.  Dia-lah yang  Maha  Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup  tertib  dan adil  untuk  mencapai  kehidupan  yang  aman,  sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN NASAKH DAN TAKHSHISH
Diantara persamaan Nasakh dan Takhshish adalah:
1.      Baik Nasakh atau Takhshish sama-sama membatasi ketentuan hukum tersebut
Kalau Nasakh membatasi ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang Takhshish dengan batasan materi.
Misalnya, dalam contoh penghapusan kewajiban bersedekah sebelum menghadap Rosul, seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu engan waktu saja. Sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut: “Kalau akan menghadap Rosul, harus memberikan sedekah terlebih dahulu, kecuali setelah turu ayat yang meniadakan kewajiban itu”. Ungkapan itu sepertinya hamper sama dengan kalimat: “Wanita yang ditalak suaminya itu wajib beriddah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”.
Oleh karena tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah-sah saja, maka ada perbedaan pemahaman diantara para Ulama’. Ada sebagian ulama yang mengakui ada dan terjadinya Nasakh itu, dan adapula yang mengingkarinya, dan menganggap Nasakh itu adalah sama saja dengan Takhshish.
2.      Nasakh sama dengan Takhshish dalam hal sama-sama membatasi berlakunya sesuatu ketentuan hukum syarak
Nasakh menghapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syarak, sedang Takhshish membatasi keumuman jangkauan dalam hukum syarak.
3.      Dalil yang me-Nasakh sama dengan dalil yang men-Takhshish.
Baik Nasakh ataupun Takhshish, dalil yang digunakan adalah sama yaitu berupa dalil syarak.
Diantara Perbedaan Nasakh dengan Takhshish adalah:
1.      Lafal ‘Am (umum) setelah ditakhsish atau dibatasi, akan menjadi samar jangkauannya, karena bentuknya masih tetap umum. Namu jangkauannya sudah terbatas, sehingga sudah tidak bisa dketahui secara pasti lagi; apa saja yang masih dijangkau oleh lafal yang telah diTakhshish itu. Sementara, teks dalil yang telah diMansukh itu sudah tidak berlaku lagi, sehingga jangkauannya jelas sudah terhenti. Sebab, tujuan dari lafal yang me-Nasakh itu sesuai dengan kehendak Allah swt, bahwa berlakunya jangkauan lafal yang di-Mansukh itu hanya terbatas sampai kepada waktu yang telah ditentukan, meskipun bunyi teksnya bisa menjangkau sepanjang masa.
2.      Ketentuan hukum yang dikecualikan dengan Takhshish sudah sejak semula memang tidak dikehendaki sama sekali. Sedangkan ketentuan hukum yang dihapuskan dengan Nasakh, mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa saat lamanya. Tetapi setelah aa perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukum yang tersebut dihapuskan dan tiada diberlakukan lagi.
3.      Nasakh itu membatalkan ke-hujjahan hukum yang di-Mansukh, sedangkan Takhshish tidak membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya saja. Sedang ketentuan hukumnya tetap berlaku bagi yang tidak dikecualikan dengan pembatasan tersebut.
4.      Nasakh itu tidak bisa terjadi kecuali dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan Takhshish bisa saja terjadi dalam Al-Qur’an dan Sunnah ataupun dalam hukum lain diluar Al-Qur’an dan Sunnah.

D. MACAM-MACAM NASAKH DAN JENIS-JENISNYA
Para pendukung Nasikh-Mansukh internal Al-Qur’an membedakan Nasakh kedalam tiga macam, yakni:
1.      Naskh al-Tilawah wa baqa’ al-Hukmi, yaitu penghapusan Al-Qur’an secara tekstual, tetapi tidak ada sedikitpun penghapusan hukumyang terkandung didalamnya atau hukumnya tetap dinyatakan berlaku.
Contohya ialah pernyataan Umar bin Khattab yang menyatakan Sekiranya Aku tidak khawatir dituduh banyak orang bahwa Umar telah menambah-nambahkan Al-Qur’an degan yang tertulis didalamnya, niscaya akan Aku tuliskan ayat tentang hukuman rajam, dan menyertakannya didalam al-Mushaf” seraya membacakan ayat yang artinya: “Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
2.      Naskh al-Hukmi wa baqa’ al-Tilawah, yaitu penghapusan pemberlakuan suatu hukum dengan tidak menghapuskan bacaannya atau teksnya tetap diabadikan.
Diantara contohnya ialah perintah mengarahkan kiblat sholat dari Baitul Maqdish ke Ka’bah, penghapusan puasa selama tiga hari setiap bulan dan asyuro’dengan puasa Ramadlan.
3.      Naskh al-Tilawatil wa al-Hukmi Ma’an, yaitu penghapusan teks Al-Qur’an dab sekaligus juga penghapusan hukum yang terkandung didalamnya.
Contoh yang umum dikemukakan ialah riwayat Aisyah yang pernah berkata: “Pada mulanya, diturunkan ayat Al-Qur’an (tentang saudara sepersusuan yang haram untuk dinikahi) adalah sepuluh susuan yang diketahui. Kemudian di-Nasakh dengan lima kali susuan yang diketahui, kemudian setelah itu Rosulullah wafat.
Adapun Jenis-jenis Nasakh ada empat, yaitu:
1.      Nasakh Alquran dengan Alquran (Naskhul Qur’aani bil Qur’aani). Jenis nasakh ini telah dipakai oleh orang yang menyetujui Nasakh mengenai kebolehan terjadinya Nasakh
2.      Nasakh Alquran dengan Sunnah (Naskhul Qur’aani bis Sunnah). Nasakh Alquran dengan Sunnah ini boleh baik ahad maupun mutawattir. Namun Jumhur Ulama tidak memperbolehkan Nasakh menggunakan Hadits ahad karena Alquran diturunkan secara mutawattir dan member faedah yang meyakinkan. Sedangkan Hadits ahad member faedah yang Dzanni (dugaan)
3.      Nasakh Sunnah dengan Alquran (Naskhul Sunnah bil Qur’aani). Nasakh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan dengan Alquran. Nasakh jenis ini diperbolehkan oleh Jumhur Ulama.
4.      Nasakh Sunnah dengan Sunnah (Naskhul Sunnah bis Sunnah) yaitu hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil sunnah di-Nasakh dengan dalil Sunnah pula.
E. HIKMAH ALLAH  MENGADAKAN NASAKH
Setelah diketahui berbagai aspek nasakh, perlu dijelaskan apa hikmahnya Alla SWT mengadakan nasakh. Sebab mengetahui sesuatu hukum itu dapat menenangkan pikiran, menentramkan jiwa dan menghilangkan keraguan. Apalagi dalam dalam masalah nasakh, banyak orang-orang yang mengingkarinya, sehingga perlu diterangkan hikmah ini agar lebih memantapkan keyakinan eksistensi dan fungsi dari nasakh ini.
1.      Hikmah Nasakh secara Umum
a)      Untuk menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna. Karena itu, syari’at agama islam ini menasakh semua syari’at dari agama-agama sebelum islam. Sebab, syari’at islam ini telah mencakp semua kebutuhan seluruh umat manusia dari segala periodenya, mulai dari nabi adam a.s yang kebutuhan-kebutuhanya masih sederhana hingga nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhanya sudah banyak dan kompleks.
b)      Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keada’an dan disepanjang zaman
c)      Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.
d)      Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya peubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap ta’at, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
e)      Untukmenambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar. sebab, semakin sukar menjalankan sesuatu peraturan Tuhan, akan semakin besar manfaat, faedah dan pahalnya.
f)       Untuk member dispensasi dan keringanan bagi umat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
2.      Hikmah Nasakh Tanpa Penganti
Kadang-kadang ada nasakh terhadap sesuatu hukum, tetapi tidak ditentukan hukum lain sebagai penggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya berubah. Contohnya seperti Nasakh terhadap hukum wajib memberikan sedekahsebelum menghadap rasul SAW dari ayat 12 surah Al-Mujadilah, yang oleh ayat 13 Al-Mujadilah hukum itu dihapuskan, tetapi tidak disebutkan hukum pengantinya, selain bahwa kewajiban itu sudah tidak berlaku lagi.
Hikmah dalam nasakh seperti ini ialah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Sebab, dengan penghapusan kewajiban bersedekah itu akan betul-betul lebih baik dan lebih menyenangkan mereka, karena dengan demikian mereka bisa bebas bertanya dan menghadap beliau tanpa harus mempersiapkan dana untuk bersedekah terlebih dahulu.
3        . Hikmah Nasakh dengan Ganti yang seimbang
Kebanyakan nasakh adalah sesuai dengan definisinya, yakni selain menghapuskan sesuatu ketentuan juga menentukan hukum baru sebagai penggantinya. Dan sering penggantinya itu seimbang atau sama dengan ketentuan yang dihapuskan contohnya seperti menasakh ketentuan menghadap kiblat ke Baitul Muqaddas di Palestina:
Dengan turunnya ayat ini, arah kiblat ke Masjidil Aqsha di Palestina itu telah dihapus, dan diganti dengan arah kiblat ke Masjidil Haram di Mekkah. Yang diganti dan penggantinya sama dan seimbang, yaitu sama-sama soal mengarahkan muka kepada kiblat.

4.        Hikmah Nasakh dengan Pengganti yang Lebih Berat
Kadang ada nasakh yang menghapuskan sesuatu ketentuan yang diganti dengan ketentuan lain yang lebih berat dari yang diganti. Misalnya, nasakh terhadap ayat Alqur’an:
Artinya:
“Dan terhadap wanita-wanita yang melakukan perbuatan keji dari istri-istri kalian, maka persaksikanlah empat orang diantara kalian. Kemudian apabila mereka telah member kesaksian, maka kurunglah wanita-wanita itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah member jalan lain (Q.S. An-Nisa:15)
Ketentuan ayat ini hanya memberi hukuman kurungan kepada istri-itri yang menyeleweng. Ketentuan tersebut dinasakh dan diganti dengan hukuman yang lebih berat, yaitu hukum jilid, sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina itu, maka deralah masing-masingnya seratus kali dera dan janganlah kasih belas kasihan kepada mereka (Q.S. An-Nur:2)
Hikmah dalam nasakh demikian itu ialah untuk menambah kebaikan dan pahala, seperti telah diterangkan dimuka.

5.        Hikmah Nasakh dengan Pengganti yang Lebih Ringan
Kebanyakan nasakh adalah mengganti sesuatu dengan ketentuan hukum dengan ketentuan lain yang lebih ringan. Contohnya seperti menasakh ayat 65 surat Al-Anfal, yang menentukan rasio tentara islam dengan tentara musuh dengan 1 : 10 diganti dengan ayat 66 surah yang sama, yang mengubah rasio itu hanya tinggal 1 : 2 saja.
Hikmah nasakh yang demikian ini adalah untuk memberi dispensasi kepada umat manusia agar mereka bisa mengenyam kemurahan Allah SWT, seperti yang telah diterangkan di muka.










BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Nasikh meupakan bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Nasikh mengandung beberapa makna yaitu menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan menukilkan. Sedangkan menurut istilah ialah membuang hukum syar’i dengan kitab syar’i. Ulama mutaqoddim memberi batasan naskh kepada dalil syar’i yang ditetapkan kemudian.
Maka dari itu, Naskh adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
1.    Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya pada aturan Allah Ta’ala.
2.    Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang berupa perintah maupun larangan.


B.     KRITIK DAN SARAN
Demikianlah makalah tentang Nasakh Wal Mansukh ini yang masih jauh dari sempurna. Tanggapan, saran dan kritik positif yang membangun dari para pembaca sangat diperlukan.




DAFTAR PUSTAKA
1.      Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI.

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar