MAKALAH
ULUM AL-QUR’AN
( Membahas tentang Nasikh Wal Mansukh )
Dosen Pembimbing : Drs. KH. Fathul Amin, M.Pd.I
Disusun oleh : Siti Asrofi Khunainah
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU
TARBIYAH MAKHDUM IBRAHIM (STITMA)
2 0 1 5
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rohmah, hidayah serta inayahnya, sehingga kami bisa menjalani
kehidupan ini sesuai ridho-Nya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan
makalah ini sesuai dengan rencana. Makalah ini kami beri judul “Membahas
tentang Nasikh Wal Mansukh”
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan
kepada junjungan kita Nabiyulloh Muhammad SAW. Karena Beliau adalah salah satu
figure ummat yang mampu memberikan syafa’at kelak di hari kiamat.
Selanjutnya, kami mengucapkan banyak terima
kasih kepada Bapak Drs. KH. Fathul Amin, M.Pd.I., selaku dosen mata kuliah Ulum
Al-Qur’an, yang telah membimbing kami. Dan kepada semua pihak yang terlibat
dalam pembuatan makalah ini hingga selesai.
Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan didalamnya. Kami
mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi tercapainya kesempurnaan
makalah selanjutnya.
Penyusun,
Siti Asrofi Khunainah
i
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………i
DAFTAR ISI
…………………………………………………………………….ii
BAB I :
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang……………………………………………………………1
B.
Rumusan Masalah...………………………………………………………1
C.
Tujuan Penulisann...………………………………………………………1
BAB
II : PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nasikh dan Mansukh…………………………………………2
B.
Urgensi mempelajari konsep Nasikh dan Mansukh……………………...6
C.
Persamaan dan perbedaan Nasakh dan Takhshish……………………….7
D.
Macam-macam Nasakh dan Jenis-jenisnya……………………………....9
E.
Hikmah Allah mengadakan Nasakh……………………………………..10
BAB
III : PENUTUP
A.
KESIMPULAN…………………………………………………………13
B.
KRITIK DAN SARAN………………………………………………....13
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………..14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Secara umum Maqasid Al- Tasri’ adalah untuk
kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan,
adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan
hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan
manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh Mansukh.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh
Mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai
dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an
dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dari nasikh dan Mansukh?
2.
Bagaimana cara mengetahui Nasakh dan
urgensinya?
3.
Apa persamaan dan perbedaan Nasakh dan
Takhshish?
4.
Apa saja macam-macam Nasakh dan jenis-jenisnya?
5.
Apa hikmah Allah mengadakan Nasakh?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar
kita bisa lebih mengenal tentang silsilah Nasikh wal Mansukh, serta lebih
memudahkan kita untuk mempelajari lebih jauh lagi sehingga dalam proses
mempelajarinya, kita tidak menemukan kesulitan.
BAB. II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
NASIKH DAN MANSUKH
Secara etimologi Nasakh dapat diartikan
menghapus, menghilangkan (izalah), yang memindahkan (naql), mengubah (tahwil)
dan menggganti (tabdil). Sejalan dengan pengertian tersebut Ahmad Syadali
mengartikan Nasakh dengan 2 macam yaitu : pertama الازلة:yang berarti hilangkan, hapuskan. Definisi
ini merujuk pada dialek orang Arab yang sering berkata نسحت الشمس الظل(Cahaya
Matahari menghilangkan bayang-bayang). Kedua نقل الشيئ
الى موضع.yaitu memindahkan
sesuatu dari satu tempat ketempat yang lainnya.
Sedangkan secara istilah Nasakh dapat
didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
a. Hukum
Syara’ atau dalil Syara’ yang menghapuskan dalil Syara’ terdahulu dan
menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
Contoh : S. al-Mujadalah:12 yang di Nasakh oleh ayat 13 tentang kewajiban bersedekah jika akan menghadap rasul menjadi bebas.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ
نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا
فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (12) أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ
يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (13) [المجادلة/12، 13]
12. Hai orang-orang beriman, apabila kamu
Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah
(kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik
bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan)
Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
13.
Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
Mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi taubat kepadamu Maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat,
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.
b. Nasakh
adalah Allah SWT. Artinya otoritas menghapus dan menggantikan hukum syara’
hakikatnya adalah Allah SWT. Definisi ini didasarkan pada Al-Baqoroh : 106
مَا نَنْسَخْ مِنْ آَيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ
بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة/106]
106. Ayat mana saja[81] yang Kami Nasakhkan,
atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[81]
Para mufassirin berlainan Pendapat tentang arti ayat, ada yang mengartikan ayat
Al Quran, dan ada yang mengartikan mukjizat.
c. رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي شرحياعنهartinya
mengangkatkan hukum syara’ dengan perintah atau khitab Allah yang datang
kemudian dari padanya.
Dari definisi di atas dapat kita pahami bahwa pada
dasarnya Nasakh tidak lain sebagai proses penghapusan ayat dan hukum yang
tertuang dalam al-Qur’an. Selain itu kedatangan ayat yang menghapus mutlak
adanya setelah ayat yang di hapus.
Adapun Mansukh secara bahasa dapat diartikan
dengan yang dihapus, dipindah dan disalin/dinukil. Selain itu ada juga yang
mengartikan denganالحكم المرتفع Hukum yang diangkat. Contoh QS. Al-Nisa : 11 MeNasakh QS.
Al-Baqarah: 180 tentang wasiat
Al-Nisa : 11
يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ
نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
مِمَّا تَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ
السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا [النساء/11]
11. Allah mensyari'atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua[273], Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo
harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
[272]
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki
lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi
nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273] Lebih
dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
Al- Baqarah :
180
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
[البقرة/180]
180. Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112], (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
[112]
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh
harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini diNasakhkan dengan ayat mewaris.
Sedangkan secara istilah Mansukh adalah hukum
syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang pertama yang belum diubah, dengan
dibatalkan dan diganti oleh hukum dari dalil syara’ baru yang datang kemudian.
Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa
ulama-ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin tidak sepakat dalam memberikan
pengertian nasikh secara terminologi. Hal ini terlihat dari kontroversi yang
muncul diantara mereka dalam menetapkan adanya nasikh dalam Al-Qur’an.
Ulama-ulama mutaqaddimin bahkan memperluas arti nasikh hingga mencakup :
1.
Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum
yang ditetapkan kemudian.
2.
Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh
hukum yang spesifik yang datang kemudian.
3.
Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat
ambigius.
4.
Penetapan syarat bagi hukum yang datang
kemudian guna membatalkan atau merebut atau menyatakan berakhirnya masa
berlakunya hukum terdahulu.
Dengan demikian, mengacu pada definisi
Al-Nasakh Wa al-Mansukh di atas baik secara bahasa maupun istilah pada dasarnya
secara eksplisit Al-Nasakh Wa al-Mansukh mensyaratkan beberapa hal antara lain
:
a.
Hukum yang di Mansukh adalah hukum Syara’. Artinya hukum tersebut bukan hukum
akal atau buatan manusia. Adapun yang dimaksud hukum Syara’ adalah hukum yang
tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadis yang berkaitan dengan tindakan Mukalaf
baik berupa perintah (Wajib, Mubah) larangan (Haram, Makruh) ataupun anjuran
(Sunah)
b. Dalil yang menghapus hukum Syara’ juga
harus berupa dalil Syara’. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Allah SWT
dalam QS. Al-Nisa’: 59
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59]
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
c. Dalil/ayat
yang di Mansukh harus datang setelah dalil yang di hapus.
d. Terdapat kontradiksi atau
pertentangan yang nyata antara dalil pertama dan kedua sehingga tidak bisa
dikompromikan
Setelah memahami pengertian Al-Nasakh Wa
al-Mansukh diatas pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana cara untuk
mengetahuinya. Menjawab pertanyaan ini al-Qattan memberikan rumusan bahwa
Al-Nasakh Wa al-Mansukh dapat di ketahui dengan cara-cara sebagai berikut :
a. Terdapat
keterangan yang tegas dari Nabi atau Sahabat.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut MeNasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
Contoh :كنت نهيتكم عن زيارة القبور, الافزوروها.Hadis tersebut MeNasakh Hadis sebelumnya yang menyatakan bahwa Rasul melarang untuk berziarah kubur.
b. Terdapat
kesepakatan umat antara ayat yang di Nasakh dan ayat yang Di Mansukh. Artinya,
jika ketentuan datangnya dalil-dalil tersebut dapat diketahui dalam
kalimat-kalimat dalil itu sendir, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan
hal tersebut.
c. Di ketahui dari
salah satu dalil nash mana yang pertama dan mana yang kedua. Contoh QS.
Al-Mujadalah: 12 yang MeNasakh: 13 tentang keharusan bersedekah ketika
menghadap Rasul.
B. URGENSI MEMPELAJARI KONSEP NASIKH
MANSUKH
Adanya nasikh-Mansukh tidak dapat
dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an
itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya.
Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi
sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang
dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri
menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, [17]
khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh
al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha
Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun
dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan
perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya
bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang
lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah
al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan
bangsa-bangsa dengan sama. Jika
engkau melayangkan pandanganmu ke alam yang
hidup ini, engkau pasti akan mengetahui bahwa naskh
(penghapusan) adalah undang-undang alami
yang lazim, baik dalam bidang
material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari
unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi
janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian
tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian
orang tua dan seterusnya. Setiap proses peredaran (keadaan) itu merupakan
bukti nyata, dalam alam ini selalu berjalan proses tersebut
secara rutin. Dan kalau naskh yang terjadi pada alam raya ini tidak lagi
diingkari terjadinya, mengapa kita mempersoalkan
adanya penghapusan dan proses pengembangan serta tadarruj dari yang
rendah ke yang lebih tinggi? Apakah seorang dengan
penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana langsung membenahi
bangsa Arab yang masih dalam proses permulaan
itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah
mencapai kemajuan dan kesempurnaan dalam kebudayaan yang tinggi? Kalau
pikiran seperti ini tidak akan diucapkan seorang yang berakal sehat, maka
bagaimana mungkin hal semacam itu akan dilakukan Allah swt. Yang Maha
Menentukan hukum, memberikan beban kepada suatu
bangsa yang masih dalam proses pertumbuhannya dengan beban yang tidak
akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa
yang telah menaiki jenjang kedewasaannya? Lalu,
manakah yang lebih baik, apakah syari'at kita yang menurut
sunnah Allah ditentukan hukum-hukumnya sendiri,
kemudian di-Nasakh-kan karena dipandang perlu
atau disempurnakan hal-hal yang dipandang tidak
mampu dilaksanakan manusia dengan alasan kemanusiaan? Ataukah
syari'at-syari'at agama lain yang diubah sendiri
oleh para pemimpinnya sehingga sebagian hukum-hukumnya lenyap sama
sekali?
Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya.
Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui
sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan
adil untuk mencapai kehidupan yang aman,
sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN NASAKH
DAN TAKHSHISH
Diantara
persamaan Nasakh dan Takhshish adalah:
1.
Baik
Nasakh atau Takhshish sama-sama membatasi ketentuan hukum tersebut
Kalau
Nasakh membatasi ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang Takhshish dengan
batasan materi.
Misalnya,
dalam contoh penghapusan kewajiban bersedekah sebelum menghadap Rosul,
seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu engan waktu saja.
Sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut: “Kalau akan menghadap
Rosul, harus memberikan sedekah terlebih dahulu, kecuali setelah turu ayat yang
meniadakan kewajiban itu”. Ungkapan itu sepertinya hamper sama dengan kalimat:
“Wanita yang ditalak suaminya itu wajib beriddah tiga kali suci, kecuali bagi
wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”.
Oleh
karena tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah-sah saja, maka ada
perbedaan pemahaman diantara para Ulama’. Ada sebagian ulama yang mengakui ada
dan terjadinya Nasakh itu, dan adapula yang mengingkarinya, dan menganggap
Nasakh itu adalah sama saja dengan Takhshish.
2.
Nasakh
sama dengan Takhshish dalam hal sama-sama membatasi berlakunya sesuatu
ketentuan hukum syarak
Nasakh
menghapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syarak, sedang Takhshish
membatasi keumuman jangkauan dalam hukum syarak.
3.
Dalil
yang me-Nasakh sama dengan dalil yang men-Takhshish.
Baik Nasakh
ataupun Takhshish, dalil yang digunakan adalah sama yaitu berupa dalil syarak.
Diantara
Perbedaan Nasakh dengan Takhshish adalah:
1.
Lafal
‘Am (umum) setelah ditakhsish atau dibatasi, akan menjadi samar jangkauannya,
karena bentuknya masih tetap umum. Namu jangkauannya sudah terbatas, sehingga
sudah tidak bisa dketahui secara pasti lagi; apa saja yang masih dijangkau oleh
lafal yang telah diTakhshish itu. Sementara, teks dalil yang telah diMansukh
itu sudah tidak berlaku lagi, sehingga jangkauannya jelas sudah terhenti.
Sebab, tujuan dari lafal yang me-Nasakh itu sesuai dengan kehendak Allah swt,
bahwa berlakunya jangkauan lafal yang di-Mansukh itu hanya terbatas sampai
kepada waktu yang telah ditentukan, meskipun bunyi teksnya bisa menjangkau
sepanjang masa.
2.
Ketentuan
hukum yang dikecualikan dengan Takhshish sudah sejak semula memang tidak
dikehendaki sama sekali. Sedangkan ketentuan hukum yang dihapuskan dengan
Nasakh, mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa saat lamanya.
Tetapi setelah aa perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan
hukum yang tersebut dihapuskan dan tiada diberlakukan lagi.
3.
Nasakh
itu membatalkan ke-hujjahan hukum yang di-Mansukh, sedangkan Takhshish tidak
membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya saja. Sedang ketentuan
hukumnya tetap berlaku bagi yang tidak dikecualikan dengan pembatasan tersebut.
4.
Nasakh
itu tidak bisa terjadi kecuali dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan Takhshish
bisa saja terjadi dalam Al-Qur’an dan Sunnah ataupun dalam hukum lain diluar
Al-Qur’an dan Sunnah.
D.
MACAM-MACAM NASAKH DAN JENIS-JENISNYA
Para pendukung Nasikh-Mansukh internal Al-Qur’an membedakan Nasakh
kedalam tiga macam, yakni:
1.
Naskh
al-Tilawah wa baqa’ al-Hukmi, yaitu penghapusan Al-Qur’an secara tekstual,
tetapi tidak ada sedikitpun penghapusan hukumyang terkandung didalamnya atau
hukumnya tetap dinyatakan berlaku.
Contohya
ialah pernyataan Umar bin Khattab yang menyatakan Sekiranya Aku tidak khawatir
dituduh banyak orang bahwa Umar telah menambah-nambahkan Al-Qur’an degan yang
tertulis didalamnya, niscaya akan Aku tuliskan ayat tentang hukuman rajam, dan
menyertakannya didalam al-Mushaf” seraya membacakan ayat yang artinya: “Orang
tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah keduanya itu dengan
pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
2.
Naskh
al-Hukmi wa baqa’ al-Tilawah, yaitu penghapusan pemberlakuan suatu hukum dengan
tidak menghapuskan bacaannya atau teksnya tetap diabadikan.
Diantara
contohnya ialah perintah mengarahkan kiblat sholat dari Baitul Maqdish ke
Ka’bah, penghapusan puasa selama tiga hari setiap bulan dan asyuro’dengan puasa
Ramadlan.
3.
Naskh
al-Tilawatil wa al-Hukmi Ma’an, yaitu penghapusan teks Al-Qur’an dab sekaligus
juga penghapusan hukum yang terkandung didalamnya.
Contoh yang
umum dikemukakan ialah riwayat Aisyah yang pernah berkata: “Pada mulanya,
diturunkan ayat Al-Qur’an (tentang saudara sepersusuan yang haram untuk
dinikahi) adalah sepuluh susuan yang diketahui. Kemudian di-Nasakh dengan lima
kali susuan yang diketahui, kemudian setelah itu Rosulullah wafat.
Adapun
Jenis-jenis Nasakh ada empat, yaitu:
1.
Nasakh
Alquran dengan Alquran (Naskhul Qur’aani bil Qur’aani). Jenis nasakh ini telah
dipakai oleh orang yang menyetujui Nasakh mengenai kebolehan terjadinya Nasakh
2.
Nasakh
Alquran dengan Sunnah (Naskhul Qur’aani bis Sunnah). Nasakh Alquran dengan
Sunnah ini boleh baik ahad maupun mutawattir. Namun Jumhur Ulama tidak
memperbolehkan Nasakh menggunakan Hadits ahad karena Alquran diturunkan secara
mutawattir dan member faedah yang meyakinkan. Sedangkan Hadits ahad member
faedah yang Dzanni (dugaan)
3.
Nasakh
Sunnah dengan Alquran (Naskhul Sunnah bil Qur’aani). Nasakh ini menghapuskan
hukum yang ditetapkan berdasarkan dengan Alquran. Nasakh jenis ini
diperbolehkan oleh Jumhur Ulama.
4.
Nasakh
Sunnah dengan Sunnah (Naskhul Sunnah bis Sunnah) yaitu hukum yang ditetapkan
berdasarkan dalil sunnah di-Nasakh dengan dalil Sunnah pula.
E.
HIKMAH ALLAH MENGADAKAN NASAKH
Setelah diketahui berbagai aspek nasakh, perlu dijelaskan
apa hikmahnya Alla SWT mengadakan nasakh. Sebab
mengetahui sesuatu hukum itu dapat menenangkan pikiran, menentramkan jiwa dan
menghilangkan keraguan. Apalagi
dalam dalam masalah nasakh, banyak orang-orang
yang mengingkarinya, sehingga perlu diterangkan hikmah ini agar lebih
memantapkan keyakinan eksistensi dan fungsi dari nasakh ini.
1. Hikmah Nasakh secara Umum
a) Untuk
menunjukkan bahwa syari’at agama islam adalah syari’at yang paling sempurna.
Karena itu, syari’at agama islam ini
menasakh semua syari’at dari agama-agama
sebelum islam. Sebab,
syari’at islam ini telah mencakp semua kebutuhan seluruh umat manusia dari
segala periodenya, mulai dari nabi adam a.s
yang kebutuhan-kebutuhanya
masih sederhana hingga nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhanya sudah banyak dan
kompleks.
b)
Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara
dalam semua keada’an dan disepanjang zaman
c) Untuk
menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan
kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang
sempurna.
d) Untuk
menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya peubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka
tetap ta’at, setia mengamalkan hukum-hukum
Tuhan, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.
e)
Untukmenambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan
hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang
mudah kepada yang sukar. sebab,
semakin sukar menjalankan sesuatu peraturan Tuhan, akan semakin besar manfaat,
faedah dan pahalnya.
f)
Untuk member dispensasi dan keringanan bagi umat islam, sebab dalam beberapa
nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati
kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
2. Hikmah Nasakh Tanpa Penganti
Kadang-kadang
ada nasakh terhadap sesuatu hukum, tetapi tidak ditentukan hukum lain sebagai
penggantinya, selain bahwa ketentuan hukumnya berubah. Contohnya
seperti Nasakh terhadap hukum wajib memberikan sedekahsebelum menghadap rasul
SAW dari ayat 12 surah Al-Mujadilah,
yang oleh ayat 13 Al-Mujadilah
hukum itu dihapuskan, tetapi tidak disebutkan hukum pengantinya, selain bahwa
kewajiban itu sudah tidak berlaku lagi.
Hikmah dalam nasakh seperti ini
ialah untuk menjaga kemaslahatan manusia. Sebab,
dengan penghapusan kewajiban bersedekah itu akan betul-betul
lebih baik dan lebih menyenangkan mereka, karena dengan demikian mereka bisa
bebas bertanya dan menghadap beliau tanpa harus mempersiapkan dana untuk
bersedekah terlebih dahulu.
3
. Hikmah Nasakh dengan Ganti yang seimbang
Kebanyakan nasakh adalah sesuai
dengan definisinya, yakni selain menghapuskan sesuatu ketentuan juga menentukan
hukum baru sebagai penggantinya. Dan
sering penggantinya itu seimbang atau sama dengan ketentuan yang dihapuskan
contohnya seperti menasakh ketentuan menghadap kiblat ke Baitul Muqaddas di
Palestina:
Dengan turunnya ayat ini, arah kiblat ke Masjidil Aqsha di
Palestina itu telah dihapus, dan diganti dengan arah kiblat ke Masjidil Haram
di Mekkah.
Yang diganti dan penggantinya sama
dan seimbang, yaitu sama-sama
soal mengarahkan muka kepada kiblat.
4.
Hikmah Nasakh dengan Pengganti yang Lebih Berat
Kadang ada nasakh yang menghapuskan sesuatu ketentuan yang
diganti dengan ketentuan lain yang lebih berat dari yang diganti. Misalnya,
nasakh terhadap ayat Alqur’an:
Artinya:
“Dan terhadap wanita-wanita
yang melakukan perbuatan keji dari istri-istri
kalian, maka persaksikanlah empat orang diantara kalian. Kemudian apabila mereka telah member
kesaksian, maka kurunglah wanita-wanita
itu dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah member jalan
lain (Q.S.
An-Nisa:15)
Ketentuan ayat ini hanya memberi hukuman kurungan kepada
istri-itri yang menyeleweng.
Ketentuan tersebut dinasakh dan
diganti dengan hukuman yang lebih berat, yaitu hukum jilid, sebagaimana firman
Allah SWT:
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki
yang berzina itu, maka deralah masing-masingnya
seratus kali dera dan janganlah kasih belas kasihan kepada mereka (Q.S.
An-Nur:2)
Hikmah dalam nasakh demikian itu ialah untuk menambah
kebaikan dan pahala, seperti telah diterangkan dimuka.
5.
Hikmah Nasakh dengan Pengganti yang Lebih Ringan
Kebanyakan nasakh adalah mengganti sesuatu dengan ketentuan
hukum dengan ketentuan lain yang lebih ringan. Contohnya
seperti menasakh ayat 65 surat Al-Anfal,
yang menentukan rasio tentara islam dengan tentara musuh dengan 1 :
10 diganti dengan ayat 66 surah yang sama, yang mengubah rasio
itu hanya tinggal 1 : 2 saja.
Hikmah nasakh yang demikian ini adalah untuk memberi
dispensasi kepada umat manusia agar mereka bisa mengenyam kemurahan Allah SWT,
seperti yang telah diterangkan di muka.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Nasikh meupakan bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Nasikh
mengandung beberapa makna yaitu menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan
menukilkan. Sedangkan menurut istilah ialah membuang hukum syar’i dengan kitab
syar’i. Ulama mutaqoddim memberi batasan naskh kepada dalil syar’i yang
ditetapkan kemudian.
Maka
dari itu, Naskh
adalah hal yang diperbolehkan keberadaannya dalam agama Islam. Hal ini sesuai
dengan dalil yang telah datang dari Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
1. Demi menjaga kemashlahatan hamba-Nya, Allah telah menghapus
sebagian hukum dalam syari’at Islam. Bila ternyata hukum penggantinya itu lebih
ringan, maka itu adalah kemudahan yang diberikan oleh Allah di dunia ini secara
langsung, namun apabila ternyata penggantinya lebih berat, maka tidak lain hal
ini akan melipat gandakan pahala pelaksananya sebagai balasan atas ketaatannya
pada aturan Allah Ta’ala.
2. Bahwa Allah Ta’ala adalah raja segala raja yang hanya
Dia-lah yang berkuasa membuat peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Maka dari itu
hendaknya kita selalu tunduk pada aturan-aturan yang datang dari-Nya, yang
berupa perintah maupun larangan.
B.
KRITIK DAN SARAN
Demikianlah makalah tentang Nasakh Wal Mansukh ini yang masih jauh
dari sempurna. Tanggapan, saran dan kritik positif yang membangun dari para
pembaca sangat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Depag RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar