BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Belakangan ini, dalam dunia pendidikan banyak dibicarakan tentang
pendidikan karakter. Munculnya pendidikan karakter sebagai wacana baru pendidikan
nasional bukan merupakan fenomena yang mengagetkan. Sebab perkembangan
social-politik dan kebangsan ini memang cenderung menghasilkan karakter bangsa.
Maraknya perilaku anarkis, tawuran antar warga, penyalah gunaan narkoba,
pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan berbagai
tindakan patologi lainnya merupakan indikasi masalah akut dalam pembangunan
karakter bangsa ini. Oleh karena itu, perlulah sebuah pendidikan yang dapat
mengembalikan karakter bangsa Indonesia, sehingga tidak hanya ilmu pengetahuan
yang dikuasai, namun pengendalian karakter yang baik demi pemanfaatan ilmu
pengetahuannya secara bijak.
Dari berbagai macam konsep pendidikan di
Indonesia, pendidikan pondok pesantren merupakan konsep pendidikan yang dinilai
mampu untuk mengembalikan karakter budaya bangsa Indonesia. Dimana dalam konsep
pendidikannya lebih menekankan pada pendidikan moral dan ilmu agama sebagai
proses pembentukan karakter.
Sudah barang
tentu pendidikan pondok pesantren yang mengajarkan Islam secara komprehensif
menjadikan santri mampu mensinergikan realita dinamika masyarakat secara
bijaksana. Mustahil dengan materi dan pola pengajaran pondok pesantren
menjadikan alumninya bersikap eksklusif. Sejarah mencatat bahwa pondok
pesantren memiliki andil yang sangat besar bagi terwujudnya harmonisasi
kehidupan.
Metode dakwah
para Wali yang sangat bijak menjadi mindset pola dakwah dan pemberdayaan
masyarakat di Nusantara ini. Hal ini disebabkan materi pengajaran pondok
pesantren tidak saja mengajarkan secara tekstual Al-Qur’an dan Hadits, namun
juga dibekali dengan ilmu-ilmu pendukung untuk memahami Islam secara
komprehensif. Belum lagi adanya interaksi sosial yang dibangun antar santri
selama bertahun-tahun mondok di pesantren memberi pengaruh bagi tumbuhnya
kecerdasan emosional santri. Tanpa melalui teori-teori psikologi modern, santri
telah secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai empati, tanggung jawab,
kejujuran, kesabaran, dan konsistensi, yang itu semua merupakan pilar-pilar
kecerdasan emosi seseorang.
Oleh karena itu, penulis tetarik untuk lebih
mengetahui metode pendidikan pondok pesantren dan perannya dalam membentuk
karakter bagi generasi penerus bangsa.
1.2. Rumusan Masalah
Berangkat dari
latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diajukan adalah sebagai
berikut:
a.
Bagaimana metode pendidikan pondok pesantren?
b.
Bagaimana peran pondok pesantren dalam pendidikan
karakter?
1.3. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas, tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah :
a.
Mengetahui metode pendidikan Pondok Pesantren.
b.
Mengidentifikasi peran Pondok Pesantren dalam
pendidikan karakter generasi muda.
1.4. Manfaat Penulisan
Manfaat yang
diperoleh dari karya ilmiah ini, dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
a. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran dalam
pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang ilmu pendidikan di pondok
pesantren
b. Manfaat Praktis
Dapat
digunakan sebagai referensi bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana peran
pondok pesantren dalam pembentukan karakter.
BAB II
LANDASAN
TEORI
2.1 Pendidikan
Pondok Pesantren
A.
Pengertian Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah dua buah kata yang mempunyai
satu kesatuan makna. Kata "pondok" mempunyai pengertian asrama-asrama
para santri, atau tempat tinggal yang dibuat untuk tempat mukim para santri,
yang berasal dari kata Arab,yaitu Funduk yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan kata
“pesantren” berasal dari kata santri yang mendapatkan imbuhan dengan awalan pe-
dan akhiran-an, yang berarti tempat tinggal para santri.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pesantren
diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar
mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam,
dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran
kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama
Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian
dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun Pondok pesantren secara definitif tidak
dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas
pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren.
Sedangkan
Profesor Jhons berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang
berarti guru mengaji. Sedang C. C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut
berasal dan kata shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang
tahu buku-buku suci agama. Sementara itu, Nurcholish Madjid, dalam buku
"Bilik-bilik Pesantren" meyebutkan, pesantren adalah bentuk
pendidikan Islam di Indonesia yang telah berakar sejak berabad-abad silam. Ia
menilai, pesantren mengandung makna ke-Islam-an sekaligus keaslian (indigenous)
Indonesia. Kata "Pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para
santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal
dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek
huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seseorang
yang mengikuti gurunya kemanapun dia pergi.
MenurutZamaksani Dhofier, ada dua kelompok
santri, yaitu:
a)
Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap
dalam pondokpesantren.
b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekelilingpesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren.
b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekelilingpesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren.
C.
Metode Pendidikan
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan
Islam tradisional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri dalam
kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan gemblengan yang
matang kepadanya, dan untuk memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai
tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Pada kebanyakan
pesantren dahulu, seluruh komplek bukan merupakan milik kyai saja, melainkan
milik masyarakat, hal ini disebabkan karena para kyai memperoleh sumber-sumber
keuangan untuk membiayai pendanaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat,
sehingga masyarakat juga merasa memiliki.
Pondok pesantren sebagai satuan pendidikan luar
sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan
mengandung beberapa sub sistem yang saling berkaitan dengan tujuannya. Begitu
pula pondok pesantren apabila dijadikan sebagai sistem pendidikan, maka harus
memiliki sub sistem tersebut. Kafrawi (1978) mengungkapkan bahwa pesantren
merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia dan salah satu
bentuk kebudayaan asli bangsa Indonesia. Lembaga dengan pola Kiai, Santri,
Asrama dan Masjid/Surau telah dikenal tidak hanya dalam bidang keagamaan saja
tetapi juga dalam kisah dan cerita rakyat maupun sastra klasik Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa.
Dalam praktiknya, di samping menyelenggarakan kegiatan
pengajaran, pesantren juga sangat memperhatikan pembinaan pribadi
melalui penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pesantren.
Kafrawi (1978) mengemukakan bahwa hal tersebut pada umumnya ditentukan oleh
tiga faktor, yaitu lingkungan (sistem asrama/hidup bersama), perilaku Kiai
sebagai centralfigure dan pengamalan kandungan kitab-kitab yang
dipelajari.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta pergeseran paradigma pembangunan pendidikan, pesantren kini
digiring untuk dilengkapi dengan pendidikan formal, sehingga pesantren di
samping menyelenggarakan pendidikan non formal (madrasah diniyah, ngaji sorogandan
bandongan) juga menyelenggarakan pendidikan formal (SD, SMP, SMA
danbahkan sampai Universitas).
2.2
Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren
Adapun Sulhan (2010) mengemukakan tentang
beberapa langkah yang dapat dikembangkan oleh pesantren dalam melakukan
proses pembentukan karakter pada santri. Adapun langkah tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Memasukan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara:
· Menambahkan
nilai kebaikan kepada santri (knowing thegood)
· Menggunakan
cara yang dapat membuat santri memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat
baik (desiring the good)
· Mengembangkan
sikap mencintai untuk berbuat baik (lovingthe good)
2.
Membuat slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku
masyarakat sekolah/pesantren.
3.
Pemantauan secara kontinue. Pemantauan secara kontinyu merupakan wujud
dari pelaksanaan pembangunan karakter.
Selain
pendekatan di atas, minimal terdapat empat strategi yang bisa menjadi
alternatif pendidikan karakter di pesantren:
1. Pendekatan
Normatif, yakni mereka (perangkat pesantren) secara bersama-sama membuat tata
kelola (good governence) atau tata tertib penyelenggaraan pesantren yang
didalamnya dilandasi oleh nilai-nilai pendidikan karakter/akhlak, perumusan
tata kelola ini penting dibuat secara bersama, bahkan melibatkan santri dan
tidak bersifat top down dari pimpinan pesantren. Sehingga terlahir
tanggung jawab moral kolektif yang dapat melahirkan sistem kontrol
sosial, yang pada giliranya mendorong terwujudnya institution culture
yang penuh makna.
2. Pendekatan
Model yakni mereka (perangkat pesantren), khususnya pimpinan pesantren berupaya
untuk menjadi model dari tata tertib yang dirumuskan, ucap, sikap dan perilakunya
menjadi perwujudan dari tata tertib yangdisepakati bersama.
3. Pendekatan
Reward and Punishmen yakni diberlakukannya sistem hadiah dan
hukuman sebagai stimulus dan motivator terwujudnya tata kelola yang dibuat.
4. Pendekatan
Suasana Belajar (baik suasana fisik maupun suasana psikis) yakni dengan
mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumber inspirasi penyadaran nilai
bagi seluruh perangkat pesantren, termasuk para santri. seperti dengan memasang
visi pesantren, kata-kata hikmah, ayat-ayat Al-Qur’an dan mutiara hadits
di tempat-tempat yang selalu terlihat oleh siapapun yang ada di pesantren,
memposisikan bangunan masjid di arena utama pesantren, memasang kaligrafi di
setiap ruangan belajar santri, membiasakan membaca Al qur’an setiap mengawali
belajar dengan dipimpin ustadz, program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit,
perlombaan-perlombaan dan sebagainya. (Sofyan Sauri. 2011)
Dari deskripsi
diatas sangat tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Pesantren salah satu
lembaga yang mempunyai peran signifikan dan kontribusi besar dalam pembentukan
dan pembangunan karakter dan kapasitas bangsa (characterand capasity building).
Dalam penerapan pendidikannya pesantren lebih mengedepankan kepada serangkaian
sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations),
dan keterampilan (skills). Oleh karena itu, dalam semangat ajaran dasar Islam ini maka pesantren tentu harus menjadi
agen yang pertama dalam membangun karakter bangsa dalam arti sesungguhnya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Metode
Pendidikan Pondok Pesantren
Pondok
pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di
tengah-tengah masyarakat, sekaligus memadukan unsur-unsur pendidikan yang amat
penting. Pertama, ibadah unuk menanamkan iman dan takwa terhadap Allah SWT.
Kedua, tablig untuk menyebarkan ilmu. Ketiga, amal untuk mewujudkan
kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
sejarahnya, perkembangan pondok pesantren memiliki sistem pendidikan dan
pengajaran non klasikal yang dikenal dengan nama: Bandongan, Sorogan,
dan Wetonan. Penyelenggaraan sistem ini berbeda-beda antara pondok
pesantren satu dengan pondok pesantren lainnya. Ada sebagian pondok pesantren
yang penyelenggarannya semakin lama semakin berubah, karena dipengaruhi oleh
perkembangan pendidikan di tanah air, serta tuntutan dari masyarakat di
lingkungan pondok pesantren itu sendri. Dan sebagian pondok pesantren ada yang
masih mempetahankan sistem pendidikan yang semula.
Dalam
kenyataannya, dewasa ini, penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di
pondok pesantren dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.
Pertama, pondok
pesantren yang cara pendidikan dan pengajarannya menggunakan metode sorogan
dan bandongan, yaitu seorang kyai mengajarkan santri-santrinya
berdasarkan kitab-kitab klasik yang ditulis dalam bahasa arab dengan sistem
terjemahan. Dalam hal itu, biasanya para santri tinggal di dalam pondok, asrama
pondok, dan ada pula yang diluar pondok. Umumnya pondok pesantren semacam ini
“steril” dari ilmu pengetahuan umum, dan orang biasanya menyebut Pondok salaf
(tradisional).
Kedua, pondok
pesantren, walaupun mempertahankan pendidikan dan pengajaran, akan tetapi
lembaga pendidikan ini telah mamasukkan pendidikan umum ke pesantren, seperti
SMP SMA, STM, SMEA, atau memasukkan sistem madrasah ke pondok pesantren.
Ketiga, pondok
pesantren di dalam sistem pendidikan dan pengajarannya mengintegrasikan sistem
madrasah kedalam pondok pesantren dengan segala jiwa, nilai, dan atribut
lainnya. Di dalam pengajarannya memakai metode dedaktik dan sistem
evaluasi pada setiap semester. Dan pengajarannya memakai sistem klasikal
ditambah dengan disiplin yang ketat dengan full asrama atau santri
diwajibkan berdiam di asrama. Para pengamat menamakannya dengan pondok modern.
Searah
perkembangan zaman, pondok pesantren selalu berusaha meningkatkan kualitasnya
dengan mendirikan madrasah-madrasah di dalam komplek pesantren masing-masing.
Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian
aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para santri yang ingin
memperoleh ilmu pengetahuan Islam secara mendalam (Sasono, 1998).
3.2. Peran
Pondok Pesantren dalam Pendidikan Karakter
Pesantren memiliki pola pendidikan yang berbeda dengan pola pendidikan
pada umumnya. Di pesantren terdapat pengawasan yang ketat menyangkut tata norma
atau nilai terutama tentang perilaku peribadatan khusus dan norma-norma
mu’amalat tertentu. Bimbingan dan norma belajar supaya cepat pintar dan cepat
selesai boleh dikatakan hampir tidak ada. Jadi, pendidikan di pesantren titik
tekannya bukan pada aspek kognitif, tetapi justru pada aspek afektif dan
psikomotorik (Mulyana, 2004).
Pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang indigenous
Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam
pengaplikasian pendidikan karakter santri. Hal itu dikarenakan: pertama,
adanya jiwa dan falsafah. Kedua, terwujudnya integralitas dalam jiwa,
nilai, sistem dan standar operasional pelaksanaan. Ketiga, terciptanya
tripusat pendidikan yang terpadu. Keempat, totalitas pendidikan.
Karakter pesantren yang demikian itu menjadikan pesantren dapat dipandang
sebagai institusi yang efektif dalam pembangunan akhlak. Disinilah pesantren
mengambil peran untuk menanggulangi persoalan-persoalan tersebut khususnya
krisis moral yang sedang melanda, karena pendidikan pesantren merupakan
pendidikann yang terkenal dengan pendidikan agama dan seharusnya mampu untuk
mencetak generasi-generasi berkarakter yang sarat dengan nilai-nilai islam.
Dengan demikian, pondok pesantren diharapkan mampu mencetak manusia
muslim sebagai penyuluh atau pelopor pembangunan yang takwa, cakap, berbudi
luhur untuk bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan dan keselamatan
bangsa serta mampu menempatkan dirinya dalam mata rantai keseluruhan sistem
pendidikan nasional, baik pendidikan formal maupun non formal dalam rangka
membangun manusia seutuhnya.
Dalam konteks kekinian, pesantren masih tetap relevan dan menjanjikan
untuk menjadi garda depan dalam mengawal kelangsungan bangsa yang terancam oleh
krisis moral, krisis identitas dan krisis kepribadian (Amin, 2014).
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan
diatas, maka diambil kesimpulan :
1.
Dihadapan perubahan
sosio-kultur yang kian deras dan globalisasi, pesantren tetap tumbuh dan
berkembang. Bahkan telah mendapat kepercayaan masyarakat dalam mendidik umat.
Krisis-krisis moral yang kian mendera anak-anak bangsa yang ditunjukan oleh
tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan lain-lain memunculkan pemahaman bahwa
keberadaan pesantren menjadi alternatif pendidikan. Namun, sejalan dengan
kepercayaan masyarakat, pesantrenpun telah melakukan perubahan-perubahan yang
perlu sehingga eksistensinya benar-benar dapat berkelanjutan.
2.
Dengan posisi ini,
dunia pesantren tampil dengan teladan indah, dengan kontribusi nilai-nilai
keteladanan dan dalam memproduksi anak-anak bangsa yang berkarakter. Merujuk ke
ajaran islam awal, jauh sebelum kewajiban shalat, puasa, haji, dan zakat
diperintahkan oleh Allah, kesempurnaan akhlak yang pertama diserukan. Dalam
semangat ajaran dasar Islam ini maka pesantren tentu harus menjadi agen yang
pertama dalam membangun karakter bangsa dalam arti sesungguhnya.
4.2. Saran
Dari
kesimpulan di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut :
a.
Saran bagi Pemerintah
Pemerintah
seharusnya lebih memperhatikan lembaga lembaga pendidikan yang memprioritaskan
pendidikan yang berbasis agama sehingga dapat menghasilkan generasi yang ahli
fikir dan dzikir.
b.
Saran bagi Masyarakat
Masyarakat
seharusnya lebih sadar akan pentingnya pendidikan berbasis agama yang mampu
menjadikan generasi-generasi bangsa sebagai bangsa yang berakhlakul karimah dan
mampu bersaing di era globalisasi yang penuh tantangan saat ini.
DAFTAR RUJUKAN
Megawangi,
Ratna. 2007. Semua Berakar pada Karakter. Jakarta: Lembaga
Penerbit
Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia
Mulyana,
Rahmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta
Sasono, Adi.
1998. Solusi Islam atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah.
Jakarta: Gema Insani Press
Zubaedi, 2011. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta
: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar