Sabtu, 18 Februari 2017

Peran PonPes dalam Pendidikan Karakter



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
              Belakangan ini, dalam dunia pendidikan banyak dibicarakan tentang pendidikan karakter. Munculnya pendidikan karakter sebagai wacana baru pendidikan nasional bukan merupakan fenomena yang mengagetkan. Sebab perkembangan social-politik dan kebangsan ini memang cenderung menghasilkan karakter bangsa. Maraknya perilaku anarkis, tawuran antar warga, penyalah gunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan lingkungan dan berbagai tindakan patologi lainnya merupakan indikasi masalah akut dalam pembangunan karakter bangsa ini. Oleh karena itu, perlulah sebuah pendidikan yang dapat mengembalikan karakter bangsa Indonesia, sehingga tidak hanya ilmu pengetahuan yang dikuasai, namun pengendalian karakter yang baik demi pemanfaatan ilmu pengetahuannya secara bijak.
Dari berbagai macam konsep pendidikan di Indonesia, pendidikan pondok pesantren merupakan konsep pendidikan yang dinilai mampu untuk mengembalikan karakter budaya bangsa Indonesia. Dimana dalam konsep pendidikannya lebih menekankan pada pendidikan moral dan ilmu agama sebagai proses pembentukan karakter.
Sudah barang tentu pendidikan pondok pesantren yang mengajarkan Islam secara komprehensif menjadikan santri mampu mensinergikan realita dinamika masyarakat secara bijaksana. Mustahil dengan materi dan pola pengajaran pondok pesantren menjadikan alumninya bersikap eksklusif. Sejarah mencatat bahwa pondok pesantren memiliki andil yang sangat besar bagi terwujudnya harmonisasi kehidupan.
Metode dakwah para Wali yang sangat bijak menjadi mindset pola dakwah dan pemberdayaan masyarakat di Nusantara ini. Hal ini disebabkan materi pengajaran pondok pesantren tidak saja mengajarkan secara tekstual Al-Qur’an dan Hadits, namun juga dibekali dengan ilmu-ilmu pendukung untuk memahami Islam secara komprehensif. Belum lagi adanya interaksi sosial yang dibangun antar santri selama bertahun-tahun mondok di pesantren memberi pengaruh bagi tumbuhnya kecerdasan emosional santri. Tanpa melalui teori-teori psikologi modern, santri telah secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai empati, tanggung jawab, kejujuran, kesabaran, dan konsistensi, yang itu semua merupakan pilar-pilar kecerdasan emosi seseorang.
Oleh karena itu, penulis tetarik untuk lebih mengetahui metode pendidikan pondok pesantren dan perannya dalam membentuk karakter bagi generasi penerus bangsa.
1.2.  Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana metode pendidikan pondok pesantren?
b.      Bagaimana peran pondok pesantren dalam pendidikan karakter?

1.3.  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah :
a.       Mengetahui metode pendidikan Pondok Pesantren.
b.      Mengidentifikasi peran Pondok Pesantren dalam pendidikan karakter generasi muda.

1.4.  Manfaat Penulisan
Manfaat yang diperoleh dari karya ilmiah ini, dikelompokkan menjadi 2, yaitu :
a.   Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang ilmu pendidikan di pondok pesantren
b.   Manfaat Praktis
                  Dapat digunakan sebagai referensi bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana peran pondok pesantren dalam pembentukan karakter.
           









BAB II
LANDASAN TEORI
2.1     Pendidikan Pondok Pesantren
A. Pengertian Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah dua buah kata yang mempunyai satu kesatuan makna. Kata "pondok" mempunyai pengertian asrama-asrama para santri, atau tempat tinggal yang dibuat untuk tempat mukim para santri, yang berasal dari kata Arab,yaitu Funduk  yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan kata “pesantren” berasal dari kata santri yang mendapatkan imbuhan dengan awalan pe- dan akhiran-an, yang berarti tempat tinggal para santri.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren.

Sedangkan Profesor Jhons berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedang C. C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dan kata shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama. Sementara itu, Nurcholish Madjid, dalam buku "Bilik-bilik Pesantren" meyebutkan, pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Indonesia yang telah berakar sejak berabad-abad silam. Ia menilai, pesantren mengandung makna ke-Islam-an sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata "Pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seseorang yang mengikuti gurunya kemanapun dia pergi.
MenurutZamaksani Dhofier, ada dua kelompok santri, yaitu:
a) Santri mukim, yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam pondokpesantren.
b) Santri kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekelilingpesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren.
C. Metode Pendidikan
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan gemblengan yang matang kepadanya, dan untuk memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Pada kebanyakan pesantren dahulu, seluruh komplek bukan merupakan milik kyai saja, melainkan milik masyarakat, hal ini disebabkan karena para kyai memperoleh sumber-sumber keuangan untuk membiayai pendanaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat, sehingga masyarakat juga merasa memiliki.
Pondok pesantren sebagai satuan pendidikan luar sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan mengandung beberapa sub sistem yang saling berkaitan dengan tujuannya. Begitu pula pondok pesantren apabila dijadikan sebagai sistem pendidikan, maka harus memiliki sub sistem tersebut. Kafrawi (1978) mengungkapkan bahwa pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang tertua di Indonesia dan salah satu bentuk kebudayaan asli bangsa Indonesia. Lembaga dengan pola Kiai, Santri, Asrama dan Masjid/Surau telah dikenal tidak hanya dalam bidang keagamaan saja tetapi juga dalam kisah dan cerita rakyat maupun sastra klasik Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Dalam praktiknya, di samping menyelenggarakan kegiatan pengajaran, pesantren juga sangat memperhatikan pembinaan pribadi melalui penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pesantren. Kafrawi (1978) mengemukakan bahwa hal tersebut pada umumnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu lingkungan (sistem asrama/hidup bersama), perilaku Kiai sebagai centralfigure dan pengamalan kandungan kitab-kitab yang dipelajari.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pergeseran paradigma pembangunan pendidikan, pesantren kini digiring untuk dilengkapi dengan pendidikan formal, sehingga pesantren di samping menyelenggarakan pendidikan non formal (madrasah diniyah, ngaji sorogandan bandongan) juga menyelenggarakan pendidikan formal (SD, SMP, SMA danbahkan sampai Universitas).
2.2 Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren
Adapun Sulhan (2010) mengemukakan tentang beberapa langkah yang dapat dikembangkan oleh pesantren  dalam melakukan proses pembentukan karakter pada santri. Adapun langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Memasukan konsep karakter pada setiap kegiatan pembelajaran dengan cara:
·      Menambahkan nilai kebaikan kepada santri (knowing thegood)
·      Menggunakan cara yang dapat membuat santri memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good)
·      Mengembangkan sikap mencintai untuk berbuat baik (lovingthe good)
2.    Membuat slogan yang mampu menumbuhkan kebiasaan baik dalam segala tingkah laku masyarakat sekolah/pesantren.
3.    Pemantauan secara kontinue. Pemantauan secara kontinyu merupakan wujud dari pelaksanaan pembangunan karakter.
Selain pendekatan di atas, minimal terdapat empat strategi yang bisa menjadi alternatif pendidikan karakter di pesantren:
1.       Pendekatan Normatif, yakni mereka (perangkat pesantren) secara bersama-sama membuat tata kelola (good governence) atau tata tertib penyelenggaraan pesantren yang didalamnya dilandasi oleh nilai-nilai pendidikan karakter/akhlak, perumusan tata kelola ini penting dibuat secara bersama, bahkan melibatkan santri dan tidak bersifat top down dari pimpinan pesantren. Sehingga terlahir tanggung jawab moral kolektif  yang dapat melahirkan sistem kontrol sosial, yang pada giliranya mendorong terwujudnya institution culture yang penuh makna.
2.       Pendekatan Model yakni mereka (perangkat pesantren), khususnya pimpinan pesantren berupaya untuk menjadi model dari tata tertib yang dirumuskan, ucap, sikap dan perilakunya menjadi perwujudan dari tata tertib yangdisepakati bersama.
3.       Pendekatan Reward and Punishmen yakni diberlakukannya sistem hadiah dan hukuman sebagai stimulus dan motivator terwujudnya tata kelola yang dibuat.
4.       Pendekatan Suasana Belajar (baik suasana fisik maupun suasana psikis) yakni dengan mengkondisikan suasana belajar agar menjadi sumber inspirasi penyadaran nilai bagi seluruh perangkat pesantren, termasuk para santri. seperti dengan memasang visi pesantren, kata-kata hikmah, ayat-ayat  Al-Qur’an dan mutiara hadits di tempat-tempat yang selalu terlihat oleh siapapun yang ada di pesantren, memposisikan bangunan masjid di arena utama pesantren, memasang kaligrafi di setiap ruangan belajar santri, membiasakan membaca Al qur’an setiap mengawali belajar dengan dipimpin ustadz, program shalat berjamaah, kuliah tujuh menit, perlombaan-perlombaan dan sebagainya. (Sofyan Sauri. 2011)
Dari deskripsi diatas sangat tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Pesantren salah satu lembaga yang mempunyai peran signifikan dan kontribusi besar dalam pembentukan dan pembangunan  karakter dan kapasitas bangsa (characterand capasity building). Dalam penerapan pendidikannya pesantren lebih mengedepankan kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Oleh karena itu, dalam semangat ajaran dasar Islam ini maka pesantren tentu harus menjadi agen yang pertama dalam membangun karakter bangsa dalam arti sesungguhnya.


BAB III
PEMBAHASAN

3.1.  Metode Pendidikan Pondok Pesantren
Pondok pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, sekaligus memadukan unsur-unsur pendidikan yang amat penting. Pertama, ibadah unuk menanamkan iman dan takwa terhadap Allah SWT. Kedua, tablig untuk menyebarkan ilmu. Ketiga, amal untuk mewujudkan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sejarahnya, perkembangan pondok pesantren memiliki sistem pendidikan dan pengajaran non klasikal yang dikenal dengan nama: Bandongan, Sorogan, dan Wetonan. Penyelenggaraan sistem ini berbeda-beda antara pondok pesantren satu dengan pondok pesantren lainnya. Ada sebagian pondok pesantren yang penyelenggarannya semakin lama semakin berubah, karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan di tanah air, serta tuntutan dari masyarakat di lingkungan pondok pesantren itu sendri. Dan sebagian pondok pesantren ada yang masih mempetahankan sistem pendidikan yang semula.
Dalam kenyataannya, dewasa ini, penyelenggaraan sistem pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren dapat digolongkan menjadi tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.
Pertama, pondok pesantren yang cara pendidikan dan pengajarannya menggunakan metode sorogan dan bandongan, yaitu seorang kyai mengajarkan santri-santrinya berdasarkan kitab-kitab klasik yang ditulis dalam bahasa arab dengan sistem terjemahan. Dalam hal itu, biasanya para santri tinggal di dalam pondok, asrama pondok, dan ada pula yang diluar pondok. Umumnya pondok pesantren semacam ini “steril” dari ilmu pengetahuan umum, dan orang biasanya menyebut Pondok salaf (tradisional).
Kedua, pondok pesantren, walaupun mempertahankan pendidikan dan pengajaran, akan tetapi lembaga pendidikan ini telah mamasukkan pendidikan umum ke pesantren, seperti SMP SMA, STM, SMEA, atau memasukkan sistem madrasah ke pondok pesantren.
Ketiga, pondok pesantren di dalam sistem pendidikan dan pengajarannya mengintegrasikan sistem madrasah kedalam pondok pesantren dengan segala jiwa, nilai, dan atribut lainnya. Di dalam pengajarannya memakai metode dedaktik dan sistem evaluasi pada setiap semester. Dan pengajarannya memakai sistem klasikal ditambah dengan disiplin yang ketat dengan full asrama atau santri diwajibkan berdiam di asrama. Para pengamat menamakannya dengan pondok modern.
Searah perkembangan zaman, pondok pesantren selalu berusaha meningkatkan kualitasnya dengan mendirikan madrasah-madrasah di dalam komplek pesantren masing-masing. Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para santri yang ingin memperoleh ilmu pengetahuan Islam secara mendalam (Sasono, 1998).

3.2.  Peran Pondok Pesantren dalam Pendidikan Karakter
Pesantren memiliki pola pendidikan yang berbeda dengan pola pendidikan pada umumnya. Di pesantren terdapat pengawasan yang ketat menyangkut tata norma atau nilai terutama tentang perilaku peribadatan khusus dan norma-norma mu’amalat tertentu. Bimbingan dan norma belajar supaya cepat pintar dan cepat selesai boleh dikatakan hampir tidak ada. Jadi, pendidikan di pesantren titik tekannya bukan pada aspek kognitif, tetapi justru pada aspek afektif dan psikomotorik (Mulyana, 2004).
Pesantren sebagai salah satu sub sistem Pendidikan Nasional yang indigenous Indonesia, mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam pengaplikasian pendidikan karakter santri. Hal itu dikarenakan: pertama, adanya jiwa dan falsafah. Kedua, terwujudnya integralitas dalam jiwa, nilai, sistem dan standar operasional pelaksanaan. Ketiga, terciptanya tripusat pendidikan yang terpadu. Keempat, totalitas pendidikan.
Karakter pesantren yang demikian itu menjadikan pesantren dapat dipandang sebagai institusi yang efektif dalam pembangunan akhlak. Disinilah pesantren mengambil peran untuk menanggulangi persoalan-persoalan tersebut khususnya krisis moral yang sedang melanda, karena pendidikan pesantren merupakan pendidikann yang terkenal dengan pendidikan agama dan seharusnya mampu untuk mencetak generasi-generasi berkarakter yang sarat dengan nilai-nilai islam.
Dengan demikian, pondok pesantren diharapkan mampu mencetak manusia muslim sebagai penyuluh atau pelopor pembangunan yang takwa, cakap, berbudi luhur untuk bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan dan keselamatan bangsa serta mampu menempatkan dirinya dalam mata rantai keseluruhan sistem pendidikan nasional, baik pendidikan formal maupun non formal dalam rangka membangun manusia seutuhnya.
Dalam konteks kekinian, pesantren masih tetap relevan dan menjanjikan untuk menjadi garda depan dalam mengawal kelangsungan bangsa yang terancam oleh krisis moral, krisis identitas dan krisis kepribadian (Amin, 2014).

  
BAB IV
PENUTUP

4.1.  Kesimpulan
Dari hasil pembahasan diatas, maka diambil kesimpulan :
1.      Dihadapan perubahan sosio-kultur yang kian deras dan globalisasi, pesantren tetap tumbuh dan berkembang. Bahkan telah mendapat kepercayaan masyarakat dalam mendidik umat. Krisis-krisis moral yang kian mendera anak-anak bangsa yang ditunjukan oleh tawuran, kenakalan remaja, narkoba dan lain-lain memunculkan pemahaman bahwa keberadaan pesantren menjadi alternatif pendidikan. Namun, sejalan dengan kepercayaan masyarakat, pesantrenpun telah melakukan perubahan-perubahan yang perlu sehingga eksistensinya benar-benar dapat berkelanjutan.
2.      Dengan posisi ini, dunia pesantren tampil dengan teladan indah, dengan kontribusi nilai-nilai keteladanan dan dalam memproduksi anak-anak bangsa yang berkarakter. Merujuk ke ajaran islam awal, jauh sebelum kewajiban shalat, puasa, haji, dan zakat diperintahkan oleh Allah, kesempurnaan akhlak yang pertama diserukan. Dalam semangat ajaran dasar Islam ini maka pesantren tentu harus menjadi agen yang pertama dalam membangun karakter bangsa dalam arti sesungguhnya.

4.2.  Saran
       Dari kesimpulan di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut :
a.       Saran bagi Pemerintah
Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan lembaga lembaga pendidikan yang memprioritaskan pendidikan yang berbasis agama sehingga dapat menghasilkan generasi yang ahli fikir dan dzikir.
b.      Saran bagi Masyarakat
Masyarakat seharusnya lebih sadar akan pentingnya pendidikan berbasis agama yang mampu menjadikan generasi-generasi bangsa sebagai bangsa yang berakhlakul karimah dan mampu bersaing di era globalisasi yang penuh tantangan saat ini.





DAFTAR  RUJUKAN


Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar pada Karakter.  Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Mulyana, Rahmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta

Sasono, Adi. 1998. Solusi Islam atas Problematika Umat: Ekonomi, Pendidikan, dan Dakwah. Jakarta: Gema Insani Press

Zubaedi, 2011. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta : Kencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar