Sabtu, 18 Februari 2017

Tahapan Perkembangan MORAL






BAB I
PENDAHULUAN
1.1       LATAR BELAKANG
Membicarakan karakter merupakan hal sangat penting dan mendasar. Karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah “membinatang”. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkannya melalui proses pembelajaran.
Diakui atau tidak, saat ini terjadi krisis yang nyata dan mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang paling berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, dan penyalah gunaan obat-obatan, pornografi, pemerkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas. Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar menyontek, kebiasaan bullying di sekolah, dan tawuran. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan ini telah menjurus kepada tindakan criminal. Perilaku dewasa juga setali tiga uang, senang dengan konflik dan kekerasan atau tawuran, perilaku korupsi yang merajalela dan perselingkuhan.
Indicator lain yang mengkhawatirkan juga terlihat pada sikap kasar anak-anak lebih kecil; mereka semakin kurang hormat terhadap orang tua, guru, dan sosok-sosok lain yang berwenang; kebiadaban yang meningkat, kekerasan yang bertambah, kecurangan yang meluas, dan kebohongan yang semakin lumrah. Peristiwa ini sangat mencemaskan dan masyarakat pun harus waspada. Sebagian orang tua mulai mengirim anaknya ke sekolah khusus, sementara sebagian lain mendidik anaknya di rumah; pengadilan menjatuhkan hukuman untuk remaja sebagaia hukuman orang dewasa. Berbagai macam strategi pendidikan dicoba; para guru mengajarkan rasa percaya diri dan kemampuan mengatasi konflik, penasihat mengajarkan keterampilan sosial dan cara mengandalkan kemarahan, jumlah murid dalam kelas diperkecil, dan meningkatkan standar akademis.
Selain itu, dalam masa penuh persoalan seperti sekarang ini, orang tua perlu berusaha keras dan ikut mendidik karakter ataupun moral anak-anaknya agar mereka bisa berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan norma-norma moralitas. Pendidikan karakter perlu dimulai dengan penanaman pengetahuan dan kesadaran kepada anak akan bagaimana bertindak sesuai nila-nilai moralitas, sebab jika anak tidak tahu bagaimana bertindak, perkembangan moral mereka akan terganggu. Lagi pula telah kita ketahui bahwa karakter dapat dilihat dari “tindakan”bukan hanya dari pemikiran. Dengan meningkatkan kecerdasan moral anak, diharapkan mereka tidak hanya berpikir dengan benar, tetapi juga bertindak benar dan diharapkan juga akan terbangunnya karakter yang kuat. Cara terbaik mengembangkan kemampuan karakter atau moral anak merupakan langkah paling tepat melindungi kehidupan moralnya sekarangdan selamanya.


1.2       RUMUSAN MASALAH
            1. Bagaimana tahapan perkembangan moral sesuai usia?
1.3       TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai syarat memperoleh nilai akhir semester 1 mata kuliah Bahasa Indonesia, serta diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
1.4       MANFAAT PENULISAN
1.      Mahasiswa mengetahui pentingnya pendidikan moral dalam upaya pembentukan karakter seseorang.
2.      Mahasiswa termotivasi untuk mengikuti pendidikan moral sebagai salah satu bekal untuk menjadi seorang pendidik yang mempunyai karakter.

















BAB II
LANDASAN TEORI
2.1       PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang intinya merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak dan tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya,  tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional), dan ranah skill (keterampilan, terampil, mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama).
Malalui pendidikan karakter juga mendorong lahirnya anak-anak yang baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik, anak-anak akan tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup. Pendidikan karakter yang efektif ditemukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting.
Karakter berkembang berdasarkan kebutuhan mengganti insting kebinatangan yang hilang ketika manusia berkembang tahap demi tahap. Karakter membuat seseorang mampu berfungsi di dunia tanpa harus memikirkan apa yang harus dikerjakan. Karakter manusia berkembang dan dibentuk oleh pengaturan sosial (social arrangements). Masyarakat membentuk karakter melalui pendidik dan orang tua agar anak bersedia bertingkah laku seperti yang dikehendaki masyarakat. Karakter yang dibentuk secara sosial meliputi accepting, preserving, taking, exchanging, dan biophilous.
Pengembangan karakter sebagai proses yang tiada henti terbagi menjadi empat: pertama, pada usia dini, disebut sebagai tahapan pembentukan karakter; kedua, pada usia remaja, disebut sebagai tahapan perkembangan; ketiga,  pada usia dewasa, disebut sebagai tahap pemantapan; keempat, pada usia tua, disebut sebagai tahap pemantapan.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), acting, menuju kebebasan (habit). Hl ini berarti, karakter tidak sebatas pada pengetahuan. Seseorang memiliki pengetahuan tentang kebaikan blum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu kalau ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter tidak sebatas pengetahuan. Karakter lenih dalam lagi, menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian, diperlukan komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan anak didik agar mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebijakan.
Dengan demikian, dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik


2.1       PENDIDIKAN MORAL
Pendidikan moral perlu menjadi prioritas dalam kehidupan. Adanya panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat menentukan totalitas diri individu ataujati diri manusia, lingkungan social dan kehidupan individu.
Sasaran pendidikan moral pada umumnya dapat diarahkan untuk :
1.      Membina dan menanamkan nilai moral dan norma,
2.      Meningkatkan dan memperluas tatanan nilai keyakinan seseorang atau kelompok,
3.      Meningkatkan kualitas diri manusia, kelompok atau kehidupan,
4.      Menangkal, memperkecildan meniadakan hal-hal yang negative,
5.      Membina dan mengupayakan terlaksananya dunia yang diharapkan,
6.      Melakukan klarifikasi nilai instrinsik dari suatu nilai moral dan norma dan kehidupan secara umum.
Tiga lingkungan yang amat kondusif untuk melaksanakan pendidikan ini, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat. Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama, karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri tanpa ada paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama yang harus ditanamkan sejak kecil.
      Lingkungan pendidikan juga menjadi wahana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mental sserta moral anak didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam pengembangan mental, moral social, dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan moral di kelas hendaknya dipertautkan dengan kehidupan yang ada diluar kelas.
      Dengan demikian, pendidikan moral perlu diarahkan menuju upaya-upaya terencanauntuk menjamin moral anak-anak yang diharapkan menjadi warga negara yang cinta akan bangsa dan tanah airnya, dapat menciptakan dan memelihara ketenteraman dan kerukunan masyarakat dan bangsa dikemudian hari. Jalan panjang yang harus ditempuh adalah memberdayakan pendidikan nilai secara intensif di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Ketiga kawasan strategis ini harus diperhitungkan sebagai pilar penentu keberhasilan reformasi dalam berbagai sisi kehidupan.








BAB III
PEMBAHASAN
A. ATTACHMENT ( Usia 0 – 2 tahun )
Ada paradigma yang berkembang dimasyarakat saat ini bahwa pendidian moral identik dengan pendididkan atas seperangkat aturan dan pedoman etis yang  harus ditaati oleh anak. Orang tua yang perhatian terhadap moral putra adalah orang tua yang mencegah anaknya untuk memukul – mukulkan mainan temannya, atau orang tua yang memperingatkan putra naik meja atau untuk memegang kepala orang tuanya karena keduanya tidak sopan.
Dengan paradigma seperti di atas maka orang tua seringkali terjebak dalam anggapan bahwa pendidikan moral adalah pendidikan kedisiplinan, yaitu pendidikan untuk mengikuti peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga midset kita adalah reward bagi yang melaksanakan dan konsekuensi bagi yang melanggar.
Bayi belum mengerti tentang karakter atau moral. Kita tidak mungkin mengajari mereka tentang arti empati, tanggung jawab, tolong – menolong, dan lain – lain. Namun seorang ibu telah dapat membangun pondasi bagi moral putranya, bahkan sejak ia masih dalam gengongannya.
Dalam buku  pendidikan moral, Ratna Megawati menjelaskan beberapa pondasi moral yang dapat dibangun oleh para orang tua sejak anakmasih bayi :
1.      Kelekatan psikologis antara orang tua dengan anak.

salah satu kebutuhan terpenting yang harus dipenuhi sejak lahir adalah kelekatan psikologis dengan ibunya”
Kelekatan ini akan membentuk kepercayaan anak kepada orang lain (trust), merasa diri diperhatkan dan membutuhkan rasa aman. Hubungan yang erat dengan ibunya dalam tahun – tahun pertama kehidupan akan menanamkan kapasitas besar untuk dapat mengadakan hubungan yang baik dengan orang lain kelak ketika dewasa. Bagi para ibu yang ditakdirkan dapat mendampingi bayinya setiap saat, tantangannya dalah bagaimana membuat setiap pertemuan tersebut menambah kelekatan dengan bayi. Tidak untuk dekat dengan bayinya. Sehingga walaupun secara fisik dekat dengan ibunya namun secara psikis bayi tidak merasakan kehadiran ibunya. Sebalinya bagi para ibu yang ditakdirkan tidak dapat mendampingi bayinya sepanjang waktu, maka tantangannya lebih berat yaitu menjadikan waktu – waktu yang sempit tersebut dan memilih pengasuh yang dapat menggantikan ketidak hadirannya denga baik.
2.      Kebutuha akan rasa aman.
Seorag anak membutuhkan lingkungan yang bisa menjamin perasaan amannya. Lingkungan yang selalu berubah dan tidak stabil akan sangat berbahaya bagi perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang sering berganti – ganti dan kurang memeuhi kebutuhan anak tentang rasa aman justru akan menjadi kendala bagi kestabilan dan meledak – ledak merupakan bibit bagi munculnya moral yang kurang baik.
3.      Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental.

“Seorang ibu yang sering menatap anaknya, mengelus, menggendong, berbicara kepada anak dan bercanda saat anak tersebut dibawah sia 6 tahun akan mempengaruhi sikap bayi menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingungannya dan menjadikannya anak yang kreatif.”
Sikap orang tua yang menerima anaknya ( kata – kata cinta dan kasih sayang, dorongan, pujian, ciuman, elusan dikepala, pelukan, dan kontak mata) membuat anak merasa disayang, dilindungi,dianggap berharga membentuk kepribadian pro-sosial, percaya diri, dan mandiri mamun sangat peduli dengan lingkungannya.
B. KEMANDIRIAN DAN PERCAYA DIRI ( Usia 2 – 4 tahun )
Teori piaget menjelaskan, di usianya 2 hingga 4 tahun seorang anak merasa sebagai pribadi yang penuh dengan kekuatan, kemampuan kreatif dan senang melakukan ekplorasi terhadap segala sesuatu pada lingkungan sekitarny. Dengan kekuatannya mereka akan mengekplor lingkungan sekitarnya tanpa merasa letih, hali ini didorong imajinasinya untuk bertindak kreatif.
Dengan tingkah polah mereka, orang tua cenderung melarang dan membatasi. Padahal sikap orang tua ini dapat menghambat perkrmbangan jiwa kemandirian dan rasa percaya diri mereka. Mengarahkan anak diusia ini harus sangat lembut tetapi tegas jan memberikan alasan yang jelas mengapa sebuah kegiatan diperbolehkan dan dilarang.
“Egois”
Cobalah untuk memberikan satu mainan kepada sekelompok anak beda usia dimana salah satu dari mereka berusia 3 – 4 tahun. Mungkin anak –anak yang lain dapat menerima pembagian mereka dengan baik, tetapi tidak pada anak ini. Apakah sikap ini merupakan sebuah kesalahan pendidikan? Thomas Lickona mengatakan bahwa anak – anak diusia ini memang sangat egois dan tidak dengan mudah berbagi mainan dengan teman – temannya, sehingga lingkungan yang baik bagi anak usia ini adalah dengan menyediakan mainan dengan jumlah yang cukup.
Namun bukan berarti dengan sikapnya ini tidak ada pendidikan moral bagi mereka. Dengan rasa memiliki (possessivitas) yang tinggi, seorang anak dapat belajar tentang konsep kepemilikan dengan benar, ini adalah barangku dan itu barang milik kakakku. Dari konsep kepemilikannya, kita dapat mendidik rasa tanggung jawab dan kemandirian atas dirinya.
“Tidak  bisa diatur”
Berkaitan dengan kesempatan anak untuk memilih dan menyalurkan kreatifitasnya, mereka sudah dapat ulain dilibatkan dalam diskusi untuk merencanakan kegiatan keluarga. Keterlibatan ini bisa diberikan hinggapada pemberian tanggung jawab atas perilaku dan barang mainannya. Tanggung jawab ini akan menumbuhkan inisiatif anak.
Apabila anak merasa mampu berinisiatif untuk melelakukan kegiatan sesuai dengan keinginannya, maka akan menumbuhkan rasa kemampuan diri, kreatifitas, dan mencetuskan serta menjalankan ide – idenya. Semua ini adalah modal bagi pertumbuhan kematangan emosinya. Sebaliknya,
“Apabila anak sering dilarang dan tidak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif, mereka akan menjadi pribadi yang apatis, tidak kreatif, dan rendah diri”.
“Untuk hadiah dan menghindari hukuman”.
Sebagai orang tua atau guru sikap yang terbaik terhadap anak yang “ usil, banyak tingkah, egois, tidak bisa diatur, dan opportunis hadiah” ini adalah lembut, tegas, jelas dalam memberikan arahan, aturan reward, dan konsekuensi yang pasti serta tetap memberikan pilhan untuk melakukan sesuatu atau tidak mengerjakannya. Jika itu semua dilakukan , insyaallah anak kita akan tumbuh mnjadi anak yang mandiri, percaya diri, dan tetap kreatif.
C. OTORITAS (Usia 4 – 6 dan 6 – 8 tahun)
Inilah saatnya orang tua merasakan nikmatnya menjadi orang tua. Anak lebih mudah menerima otoritas orang tuanya. Mereka lebih mudah diajak kompi dan kerjasama, terutama jika berkaitan dengan perkataan orang tuanya. Namun masiih perlu diingat bahwa kepatuhan mereka masih sarat dengan harapan untuk memperoleh hadiah dan menghindari hukuman.
Anak diusia 4-6 tahun mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut :
1.      Menerima otoritas orang tua dan orang – orang yang paling dekat dengan dirinya.
2.      Mereka sudah mulain menerima pandangan orang lain selain pandanganorang tua mereka sendiri.
3.      Menjadikan standar moral orang tuanya sebagai standar moral bagi dirinya sendiri. Cara berbicara dan bersikap orang tua, seringkali menjadi model bagi diri mereka.
4.      Kehadiran orang tua secara fisik masih sangat berpengaruh terhadap kuatnya otoritas orang tua dihadapan putra putri mereka.
“Masa inilah masa bagi pembentukan moral dengan pola modelling. Mereka menjadikan orang tua atau orang terdekat mereka sebagai model yang pantas ditiru dan diikuti rerak geriknya”.
Pada masa ini orang tua dianjurkan untuk berhati – hati dalam perilaku dan suasana psikologinya. Di usia ini anak adalah peniru ulung bagi sikap dan perilaku orang tuanya. Jangan terkejut bila tiba –tiba anakkita duduk di kursi hampir mirip dengan cara kita duduk dikursi tersebut.
Dengan pola modelling tersebut, tidak berarti orang tua tidak perlu lagi menjelaskan tentang mengapa anak harus melakukan ini dan melarang anak untuk melakukan itu. Seperti kebiasaan anak untk mengembalikan barang ketempatnya, bukan karena untuk mendapatkan pujian atau menghindari hukuan dari orang tua. Terlebih dari itu, mereka dapat merasakan nikmatnya kerapian dan ketertiban.
Pada usia 6-8 tahun, anak –anak mengalami dua bentuk perkembanganotoritas. Pertama, perkembangan wilayah otoritas. Jika sebelumnya mereka cenderung hanya menerima otoritas orang tuanya dan orang – orang yang setiap hari menjaganya, kini mereka mulai dapat menerima otorit/as dari orang lain seperti guru dan pelatihnya.
Satu sisi perkembangan ini sangatlah menggembirakan, karena sebagi bukti nyata bahwa kemampuan sosialnya juga berkembang. Namun pada sisi lain, jika orang lain yang dijadikan model oleh anak kita merupakan sosok yang kurang baik moralnya, maka secara otomatis perkembangan moranya juga kurang baik. Di sinilah peran porang tua untuk membantu anak memilihkan lingkungan yang dipenuhi dengan orang – orang yang baik moralnya.
Kedua, perkambanga pola penerima otoritas, di mana sebelumnya mereka menerima otoritas secara total, maka saat ini pola penerimaan otoritasnya bersifat timbal balik. Jika seorang melakukan kebaikan pada dirinya, maka ia akan melakukan kebaikan pula kepada dirinya.

Ada beberapa karakteristik bagi anak – anak dalam usia penerimaan otoritas timbal balik ini, diantaranya adalah ;
1.      Anak mulai menyadari bahwa mereka mempunyai hak sebagaimana orang dewasa.
2.      Memiliki konsep keadilan yang kurang fleksibel, yaitu balas membalas. Mereka hanya melakukan kepada orang yangg telah melakukan kebaikan terhadap dirinya. Sebaliknya mereka akan membalas dengan kejahatan terhadap orang yang telah berbuat jahat kepada dirinya.
3.      Lebih sering membanding – bandingkan dan meminta perlakuan adil. Kue yang diperoleh kakak harus sama besar dengan kue yang diperolehnya.
4.      Cenderung membangkang terhadap hal yang dianggap kurang adil dalam pembagiannya.
5.      Kurang dapat melihat tindakan yang salah, kecuali kalau melihat hasilnya yang membahayakan.
Mengajarkan moral pada anak usia ini otoritas timbal balik ini dapat memakai konsep prinsip timbal balik. ’ jika kamu  inggin dihormati oleh kawan – kawanmu, kamu juga harus bersikap hormat terhadap mereka.’ ‘ mengapa mereka bersikap kasar terhadapmu, mungkin dikarenakan sikapmu yang kurang lembut terhadap mereka.’
Kesepakatan – kesepakatan yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak juga dapat diterapkan kepada anak – anak di usia ini. ’ bagaiman kalau mama mulain menyiapkan sarapanmu dan kamu mulai merapikan buku – buku di tasmu.’
Namun orang atau ata guru harus meberikan pengertian agar mereka dapat melanjutkan kepada perkembangan moral selanjutnya. Karena banyak anak – anak pada usia selanjutnya bahkan pada usia dewasa tahapan moralnya masih dala konsep timbal balik, balas membalas dan prinsip keadilan.
Untuk pengertian diatas Lickona menganjurkan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk mendorong moral anak berkembang pada tahap selanjutnya ;
1.      Berikan contoh kepada anak perilaku baik yang didasari pada rasa cinta dan kasih sayang, bukan pada prinsip keadilan semata.
2.      Membantu anak untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, dengan mengajak mereka ke korban bencana alam atau panti asuhan.
3.      Menciptakan hubungan yang mesra kepada anak, agar mereka bisa peduli terhadap keinginan  anda.
4.      Membantu mereka untuk melakukan tugas sesuai harapan anda. Bukan karena ingin mendapatan hadiah atau pujian, tetapi karena mareka menikmati selesainya tugas tersebut dan dapat membantu orang lain.
Dalam masa otoritas ini terdapat juga tugas perkembangan moral yang harus dibangun yaitumenanamkan rasa mampu untuk melaksanakan tugas. Orang tua harus secara halus mendorong anak – anak untuk berekplorasi agar mereka menydari bahwa mereka dapat belajar menguasai sesuatu yang sebelumnya tidak mereka duga bisa mereka kuasai.
Jika orang tua gagal dalam menanamkan perasaan ini, maka besar kemungkinan anak tumbuk menjadi anak yang rendah diri yang akan terbawa sampai usia dewasa.
D. TEMAN SEBYA (Usia 8 - 14 tahun)
’’Anak –anakk di usia ini memang tidak terlalu tergantung pada figur otoritas seperti masa sebelumnya. Tindakan – tindakan yangmereka lakukan lebih didorong motivasi untuk menyenangkan hati teman sebayanya.’’
Jika mereka sudah mulai mampu memilah antara moral yang baik dan moral yang jelek, ditambah dorongan keinginan untuk dikatakan anak yang baik bagi lingkungannya ‘teman sebaya’.
Tahapan perkembangan moral ini mempunyai karakteristik sebagai berikut ;
1.      Anak berusaha mendapatkan pengakuan sosial dari orang lain, sehingga ia mau berbuat sesuatu agar orang lain mengakuinya sebgai orang baik
2.      Lebih mampu mengerti apa yang dibutuhkan orang lain, tidak semata – mata berpikir apa yang dapat saya peroleh dari orang lain.
3.      Dapat menerima tanggung jawab dan melakukannya demi kepentingan keluarga, karena mereka sudah memahami arti sebuah kelompok.
4.      Karena selalu berorirentasi pada pengakuan kawan, mereka cenderung kurang percaya diri atau meras tidak aman. Maka pada masa ini banyak anak berjerumus pada hal – hal yang negatif hanya untuk mendapat pengakuan teman sebaya. Dengan mencoba merokok, bersikap seperti teman sebaya, menggunakan aksesoris badan yang sama dengan yang digunakan teman sebaya, dan lain – lain.
5.      Sudah mulai mempunyai perasaan bersalah dan malu, namun masih sangat dipengaruhi lingkungan luarnnya, terutama tentang konsep diri yang ingin diakui oleh lingkungannya.
Tahap ini masih terkait dengan tahapan perkembangan moral sebelumnya, yaitu perasaan mampu melaksanakan tugas dengan baik. Apabila pada tahapan sebelumnya seorang anak sudah merasa mampu dan percaya diri, maka pada perkembangan selanjutnya mudah baginya untuk menemukan identitas diri. Konsepdiri yang positif akan meningkatkan rasa percaya diri yang tinggi.
Konsep diri yang rendah seringkali memberikan pengaruh negatif bagi anak seperti kenakalan remaja, depresi, bunuh diri, dan mudahnya mereka dipengaruhi teman – temannya untuk melakukan perilaku yang negatif.
            Berikut ini beberapa tips yanng dapat dilakukan oleh orang tua untuk membangun konsep diri yang tinggi, sekaligus membantu anak untuk melanjutkan perkembangan moral  pada tahap selanjutnya ;
1.      Membangun hubungan yang baik dengan anak, terutama di dalam mengembangkan komunikasi yang efektif, turut membangun memecahkan problem mereka dan menemukan identitas dirinya.
2.      Membangun konsep diri yang positif dengan tidak membanding bandingkan dengan kawannya, memberi penghargaan atas perilaku positif mereka, mendorong mereka untuk mencari kawan – kawan yang baik dan mengembangkan hobi, serta bakat mereka.
3.      Sering mendiskusikan permasalahn – permasalahan moral dengan mereka.
4.      Menyeimbangkan antara memberikan kebebasan terhadap mereka dan mengontrol tindakan mereka dengan menggunakan otoritas berdasarkan cinta kasih, mengatakan ‘ya’ dan ‘tidak’ kalau memang diperlukan dengan tanpa meninggalkan peluang mereka untuk memilih, memberi kesempatan kepada mereka untuk menolak dengan cara yang baik dan menggunakan kontrol secara tidak langsung.
Dengan beberapa tips diatas diharapkan konsep diri anak meningkat, sehingga pada akhirnya mereka mampu menentukan secara mandiri apa yang bermanfaat dan apa yang berbahaya bagi mereka.
E. MORALITAS SOSIAL (Usia14 –20tahun)

Ada dua parameter yang dapat dijadikan ukuran apakah seorang anak telah berkembang tahapan moralnya dari moralitas teman sebaya menuju moralitas sosial. Pertama, peer pressure ‘ tekanan teman sebaya’ masih sangat kuat, sehingga seorang anak saat melakukan sebuah tindakan lebih memikiran untuk mendapat pengakuan teman sebayanya dari pada untuk memenuhi perannya sebagai anggota masyarakat yang selelu menghormati dan menaati peraturan.
Kedua, jika seorang anak belum mampu melihat dampak yang lebih besar dari tindakan negatif yang mereka lakukan. Seperti kebiasaan anak mengambil barang dari toko, karena banyak temannya yang juga melakukannya. Ia merasa tidak nyaman jika di sebut ‘sok alim.’ Padahal dengan tindakannya mereka telah merusak tatanan sosial yang ada.
Jika kita menjumpain seorang anak yang masih mempelihatkan salah satu diantara indikator diatas, maka sebenarnya anak tersebut masih mencapai tahapan moralitas teman sebaya. Walaupun secara umur ia seharusnya sudah masuk tahap moralitas sosial.
“Moralitas sosial bukanlah puncak dari tahapan perembangan moral seorang anak, karena tahapa ini hanya menjadikan anak sebagai warga negara yang baik. Ia melakukan sesuatu perilaku bukan karena kebenaran perilaku tersebut tetapi lebih untuk mengikuti kemauan masyarakat setempat”.
Orang tua dapat membantu anak – anak untuk mencapai tahapan moral selanjutnya dengan beberapa cara berikut ini ;
1.      Mengajak anak berdiskusi tentang fenomena – fenomena moral berdasarkan hati nurani dan prinsip – prinsip keadilan sejati.
2.      Memberikan pengalaman nyata kepada anak tentang masalah – masalh moralitas pada masyarakat seperti kerja sosial, belajar hidup mandiri dan membantu orang orang yang kesulitan.
3.      Mendorong mereka untuk memikirkan masa depan dan apa yang harus mereka persiapkan dari sekarang ini agar dapat memberikan kontribusi yang positif bagi oran lain.
Komunikasi yang pasif dengan anak adalah pangkal dari pengembangan tahapan moralitas sosial ini.
F. MORALITAS OBJECTIVE DAN HATI NURANI  (Usia 20 tahun - dewasa)
Tahapan perkembangan moral selanjutnya adalah moralitas objektif dan hati nurani, yaitu prinsip moral yang di dasarkan pada kaidah – kaidah kebenaran dan hati nurani. Sebuah teladan moral yang tidak dibangun dari kepentingan pribadi, pengakuan teman, kebenaran sosial tertentu tetapi mengacu pada sebuah kebenaran objektif, kebenaran sejati dari Allah swt dan suara hari nurani.
Kolhberg berkomentar tentang tahapan perkembangan moral tertinggi ini. Yaitu apabila ada konflik antara hukum atau peraturan dngan hati nurani maka seorang yang telah sampai pada tahapan ini akan menuruti apa kata nuraninya, walaupun ia harus menanggung resiko pribadi. Karena komitmennya pada kepercayaan dan kebenaran sejati tidak pandang bulu.
Tahapan ini dapat dicapai pada usia 20 tahun atau sesudah umur tersebut. Mereka yang sudah mencapai tahapan ini akan mengacu kepada moral hati nurani. Mereka berbuat baik karena hati nurainya berkata demikian, bukan karena kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok atau sistem sosial tertentu.
“manusia yang telah mencapai tahapan moral ini tidak mudah terprovokasi oleh propaganda dari orang lain. Karena kesadaran nuraninya hanya berpegang teguh kepada prinsip – prinsip moral Allah swt sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Assunnah”.
Walaupun moralitas hati nurani ini merupakan tahapan yang tertinggi, namun moralitas ini harus dibangun sejak kecil. Sejak kecil seorang anak kecil sudah harus dibiasakan untuk merasakan dan mencintai kebijakan, sehingga pendidikan moral yang melibatkan aspek feeling dan loving dapat membantu anak untuk mencapain tahap perkembangan moral yang tertinggi ini.












BAB IV
PENUTUP

A.. KESIMPULAN
ü  “salah satu kebutuhan terpenting yang harus dipenuhi sejak lahir adalah kelekatan psikologis dengan ibunya”
ü  “Seorang ibu yang sering menatap anaknya, mengelus, menggendong, berbicara kepada anak dan bercanda saat anak tersebut dibawah sia 6 tahun akan mempengaruhi sikap bayi menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi lingungannya dan menjadikannya anak yang kreatif.”
ü  “Apabila anak sering dilarang dan tidak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif, mereka akan menjadi pribadi yang apatis, tidak kreatif, dan rendah diri”.
ü  “Usia 4 – 6 dan 6 – 8 tahun inilah masa bagi pembentukan moral dengan pola modelling. Mereka menjadikan orang tua atau orang terdekat mereka sebagai model yang pantas ditiru dan diikuti rerak geriknya”.
ü  ’’Anak –anakk di usia 8-14 tahun ini memang tidak terlalu tergantung pada figur otoritas seperti masa sebelumnya. Tindakan – tindakan yangmereka lakukan lebih didorong motivasi untuk menyenangkan hati teman sebayanya.’’
ü  “Moralitas sosial bukanlah puncak dari tahapan perembangan moral seorang anak, karena tahapa ini hanya menjadikan anak sebagai warga negara yang baik. Ia melakukan sesuatu perilaku bukan karena kebenaran perilaku tersebut tetapi lebih untuk mengikuti kemauan masyarakat setempat”.
ü  “Manusia yang telah mencapai tahapan moral ini tidak mudah terprovokasi oleh propaganda dari orang lain. Karena kesadaran nuraninya hanya berpegang teguh kepada prinsip – prinsip moral Allah swt sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Assunnah”.
B. SARAN
1.      Guru atau orang tua harus berperan sebagai model yang baik bagi para murid atau anak-anak. Atas dasar ini, tentu saja selain orang tua semakin berjarak dengan anaknya dan masyarakat semakin acuh tak acuh dengan lingkungan sekitarnya, dan media yang semakin merusak, gurulah yang diharapkan mampu menjadi model sudah teruji sepanjang zaman. Sering kita temukan dalam kehidupan nyata, seorang anak lebih mempercayai omongan gurunya daripada orang tuanya, terutama anak-anak yang baru mengenal dunia pendidikan ke luar rumah. Sebagian besar anak sangat senang terhadap gurunya dan mau mendengar serta mematuhi pesan-pesan dan nasihat yang diberikan gurunya.
2.      Anak-anak harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia, misalnya Nabi Muhammad SAW. Cara guru dan orang tua menyelesaikan masalah secara adil, dan menghargai pendapat anak, mengkritik orang lain secara santun, merupakan perilaku secara alami dijadikan model oleh anak-anak. Demikian juga apabila guru dan orang tua berperilakuyang sebaliknya, anak-anak juga secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu, para guru dan orang tua harus hati-hati dalam bertutur kata dan bertindak supaya tidak menanamkan nilai-nilai negative dalam sanubari anak.


.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Zubaedi. 2012. Desain Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2.      Jinan, Miftahul. 2013. Aku Wariskan Moral bagi Anakku. Sidoarjo : Filla Press
3.      Cristina, Ani. 2013. Sekolah Menjadi Orang Tua. Sidoarjo : Filla Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar