BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Membicarakan karakter merupakan hal sangat penting dan mendasar.
Karakter adalah mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia
tanpa karakter adalah manusia yang sudah “membinatang”. Orang-orang yang
berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial ialah mereka yang
memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya
karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkannya
melalui proses pembelajaran.
Diakui atau tidak, saat ini terjadi krisis yang nyata dan
mengkhawatirkan dalam masyarakat dengan melibatkan milik kita yang paling
berharga, yaitu anak-anak. Krisis itu antara lain berupa meningkatnya pergaulan
bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, dan penyalah gunaan obat-obatan,
pornografi, pemerkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain sudah
menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Perilaku remaja kita juga diwarnai dengan gemar menyontek, kebiasaan bullying
di sekolah, dan tawuran. Akibat yang ditimbulkan cukup serius dan tidak dapat
lagi dianggap sebagai suatu persoalan sederhana karena tindakan ini telah
menjurus kepada tindakan criminal. Perilaku dewasa juga setali tiga uang,
senang dengan konflik dan kekerasan atau tawuran, perilaku korupsi yang
merajalela dan perselingkuhan.
Indicator lain yang mengkhawatirkan juga terlihat pada sikap kasar anak-anak
lebih kecil; mereka semakin kurang hormat terhadap orang tua, guru, dan
sosok-sosok lain yang berwenang; kebiadaban yang meningkat, kekerasan yang
bertambah, kecurangan yang meluas, dan kebohongan yang semakin lumrah.
Peristiwa ini sangat mencemaskan dan masyarakat pun harus waspada. Sebagian
orang tua mulai mengirim anaknya ke sekolah khusus, sementara sebagian lain
mendidik anaknya di rumah; pengadilan menjatuhkan hukuman untuk remaja sebagaia
hukuman orang dewasa. Berbagai macam strategi pendidikan dicoba; para guru
mengajarkan rasa percaya diri dan kemampuan mengatasi konflik, penasihat
mengajarkan keterampilan sosial dan cara mengandalkan kemarahan, jumlah murid
dalam kelas diperkecil, dan meningkatkan standar akademis.
Selain itu, dalam masa penuh persoalan seperti sekarang ini, orang
tua perlu berusaha keras dan ikut mendidik karakter ataupun moral anak-anaknya
agar mereka bisa berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan norma-norma
moralitas. Pendidikan karakter perlu dimulai dengan penanaman pengetahuan dan
kesadaran kepada anak akan bagaimana bertindak sesuai nila-nilai moralitas,
sebab jika anak tidak tahu bagaimana bertindak, perkembangan moral mereka akan
terganggu. Lagi pula telah kita ketahui bahwa karakter dapat dilihat dari
“tindakan”bukan hanya dari pemikiran. Dengan meningkatkan kecerdasan moral anak,
diharapkan mereka tidak hanya berpikir dengan benar, tetapi juga bertindak
benar dan diharapkan juga akan terbangunnya karakter yang kuat. Cara terbaik
mengembangkan kemampuan karakter atau moral anak merupakan langkah paling tepat
melindungi kehidupan moralnya sekarangdan selamanya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana tahapan perkembangan
moral sesuai usia?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai syarat
memperoleh nilai akhir semester 1 mata kuliah Bahasa Indonesia, serta
diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
1.4 MANFAAT PENULISAN
1.
Mahasiswa mengetahui pentingnya
pendidikan moral dalam upaya pembentukan karakter seseorang.
2.
Mahasiswa termotivasi untuk
mengikuti pendidikan moral sebagai salah satu bekal untuk menjadi seorang
pendidik yang mempunyai karakter.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti yang intinya
merupakan program pengajaran di sekolah yang bertujuan mengembangkan watak dan
tabiat siswa dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat
sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir
rasional), dan ranah skill (keterampilan, terampil, mengolah data, mengemukakan
pendapat, dan kerja sama).
Malalui pendidikan karakter juga mendorong lahirnya anak-anak yang
baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik, anak-anak akan tumbuh dengan
kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan
melakukan segalanya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup.
Pendidikan karakter yang efektif ditemukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan
semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang
sangat penting.
Karakter berkembang berdasarkan kebutuhan mengganti insting
kebinatangan yang hilang ketika manusia berkembang tahap demi tahap. Karakter
membuat seseorang mampu berfungsi di dunia tanpa harus memikirkan apa yang
harus dikerjakan. Karakter manusia berkembang dan dibentuk oleh pengaturan sosial
(social arrangements). Masyarakat membentuk karakter melalui pendidik
dan orang tua agar anak bersedia bertingkah laku seperti yang dikehendaki
masyarakat. Karakter yang dibentuk secara sosial meliputi accepting,
preserving, taking, exchanging, dan biophilous.
Pengembangan karakter sebagai proses yang tiada henti terbagi
menjadi empat: pertama, pada usia dini, disebut sebagai tahapan
pembentukan karakter; kedua, pada usia remaja, disebut sebagai tahapan
perkembangan; ketiga, pada usia
dewasa, disebut sebagai tahap pemantapan; keempat, pada usia tua,
disebut sebagai tahap pemantapan.
Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing),
acting, menuju kebebasan (habit). Hl ini berarti, karakter tidak
sebatas pada pengetahuan. Seseorang memiliki pengetahuan tentang kebaikan blum
tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya itu kalau ia tidak terlatih
untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter tidak sebatas pengetahuan. Karakter
lenih dalam lagi, menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian,
diperlukan komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu
moral knowing atau pengetahuan tentang moral, dan moral action atau
perbuatan moral. Hal ini diperlukan anak didik agar mampu memahami, merasakan,
dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebijakan.
Dengan demikian, dalam pendidikan karakter penting sekali
dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan,
tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan
nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan
kegigihan sebagai basis karakter yang baik
2.1 PENDIDIKAN MORAL
Pendidikan moral perlu menjadi prioritas dalam kehidupan. Adanya
panutan nilai, moral, dan norma dalam diri manusia dan kehidupan akan sangat
menentukan totalitas diri individu ataujati diri manusia, lingkungan social dan
kehidupan individu.
Sasaran pendidikan moral pada umumnya dapat diarahkan untuk :
1.
Membina dan menanamkan nilai moral
dan norma,
2.
Meningkatkan dan memperluas tatanan
nilai keyakinan seseorang atau kelompok,
3.
Meningkatkan kualitas diri manusia,
kelompok atau kehidupan,
4.
Menangkal, memperkecildan meniadakan
hal-hal yang negative,
5.
Membina dan mengupayakan
terlaksananya dunia yang diharapkan,
6.
Melakukan klarifikasi nilai
instrinsik dari suatu nilai moral dan norma dan kehidupan secara umum.
Tiga lingkungan yang amat kondusif untuk melaksanakan pendidikan
ini, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan
masyarakat. Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama,
karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri tanpa ada
paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama yang harus ditanamkan
sejak kecil.
Lingkungan pendidikan
juga menjadi wahana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mental
sserta moral anak didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai
kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam
pengembangan mental, moral social, dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan
pendidikan moral di kelas hendaknya dipertautkan dengan kehidupan yang ada
diluar kelas.
Dengan demikian,
pendidikan moral perlu diarahkan menuju upaya-upaya terencanauntuk menjamin
moral anak-anak yang diharapkan menjadi warga negara yang cinta akan bangsa dan
tanah airnya, dapat menciptakan dan memelihara ketenteraman dan kerukunan
masyarakat dan bangsa dikemudian hari. Jalan panjang yang harus ditempuh adalah
memberdayakan pendidikan nilai secara intensif di lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat. Ketiga kawasan strategis ini harus diperhitungkan sebagai pilar
penentu keberhasilan reformasi dalam berbagai sisi kehidupan.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
ATTACHMENT ( Usia 0 – 2 tahun )
Ada paradigma yang berkembang dimasyarakat saat ini bahwa pendidian
moral identik dengan pendididkan atas seperangkat aturan dan pedoman etis
yang harus ditaati oleh anak. Orang tua
yang perhatian terhadap moral putra adalah orang tua yang mencegah anaknya
untuk memukul – mukulkan mainan temannya, atau orang tua yang memperingatkan
putra naik meja atau untuk memegang kepala orang tuanya karena keduanya tidak
sopan.
Dengan paradigma seperti di atas maka orang tua seringkali terjebak
dalam anggapan bahwa pendidikan moral adalah pendidikan kedisiplinan, yaitu pendidikan
untuk mengikuti peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis. Sehingga midset
kita adalah reward bagi yang melaksanakan dan konsekuensi bagi yang melanggar.
Bayi belum mengerti tentang karakter atau moral. Kita tidak mungkin
mengajari mereka tentang arti empati, tanggung jawab, tolong – menolong, dan
lain – lain. Namun seorang ibu telah dapat membangun pondasi bagi moral
putranya, bahkan sejak ia masih dalam gengongannya.
Dalam buku pendidikan moral,
Ratna Megawati menjelaskan beberapa pondasi moral yang dapat dibangun oleh para
orang tua sejak anakmasih bayi :
1.
Kelekatan psikologis antara orang
tua dengan anak.
“salah satu kebutuhan terpenting yang harus dipenuhi sejak lahir adalah
kelekatan psikologis dengan ibunya”
Kelekatan ini akan membentuk kepercayaan anak kepada orang lain
(trust), merasa diri diperhatkan dan membutuhkan rasa aman. Hubungan yang erat
dengan ibunya dalam tahun – tahun pertama kehidupan akan menanamkan kapasitas
besar untuk dapat mengadakan hubungan yang baik dengan orang lain kelak ketika
dewasa. Bagi para ibu yang ditakdirkan dapat mendampingi bayinya setiap saat,
tantangannya dalah bagaimana membuat setiap pertemuan tersebut menambah
kelekatan dengan bayi. Tidak untuk dekat dengan bayinya. Sehingga walaupun
secara fisik dekat dengan ibunya namun secara psikis bayi tidak merasakan
kehadiran ibunya. Sebalinya bagi para ibu yang ditakdirkan tidak dapat
mendampingi bayinya sepanjang waktu, maka tantangannya lebih berat yaitu
menjadikan waktu – waktu yang sempit tersebut dan memilih pengasuh yang dapat
menggantikan ketidak hadirannya denga baik.
2.
Kebutuha akan rasa aman.
Seorag anak membutuhkan lingkungan yang bisa menjamin perasaan
amannya. Lingkungan yang selalu berubah dan tidak stabil akan sangat berbahaya
bagi perkembangan emosi bayi. Pengasuh yang sering berganti – ganti dan kurang
memeuhi kebutuhan anak tentang rasa aman justru akan menjadi kendala bagi
kestabilan dan meledak – ledak merupakan bibit bagi munculnya moral yang kurang
baik.
3.
Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental.
“Seorang ibu yang sering menatap anaknya, mengelus, menggendong,
berbicara kepada anak dan bercanda saat anak tersebut dibawah sia 6 tahun akan
mempengaruhi sikap bayi menjadi anak yang gembira, antusias mengeksplorasi
lingungannya dan menjadikannya anak yang kreatif.”
Sikap orang tua yang menerima anaknya ( kata – kata cinta dan kasih
sayang, dorongan, pujian, ciuman, elusan dikepala, pelukan, dan kontak mata)
membuat anak merasa disayang, dilindungi,dianggap berharga membentuk
kepribadian pro-sosial, percaya diri, dan mandiri mamun sangat peduli dengan
lingkungannya.
B.
KEMANDIRIAN DAN PERCAYA DIRI ( Usia 2 – 4 tahun )
Teori piaget menjelaskan, di usianya 2 hingga 4 tahun seorang anak
merasa sebagai pribadi yang penuh dengan kekuatan, kemampuan kreatif dan senang
melakukan ekplorasi terhadap segala sesuatu pada lingkungan sekitarny. Dengan
kekuatannya mereka akan mengekplor lingkungan sekitarnya tanpa merasa letih,
hali ini didorong imajinasinya untuk bertindak kreatif.
Dengan tingkah polah mereka, orang tua cenderung melarang dan
membatasi. Padahal sikap orang tua ini dapat menghambat perkrmbangan jiwa
kemandirian dan rasa percaya diri mereka. Mengarahkan anak diusia ini harus
sangat lembut tetapi tegas jan memberikan alasan yang jelas mengapa sebuah
kegiatan diperbolehkan dan dilarang.
“Egois”
Cobalah untuk memberikan satu mainan kepada sekelompok anak beda
usia dimana salah satu dari mereka berusia 3 – 4 tahun. Mungkin anak –anak yang
lain dapat menerima pembagian mereka
dengan baik, tetapi tidak pada anak ini. Apakah sikap ini merupakan sebuah
kesalahan pendidikan? Thomas Lickona mengatakan bahwa anak – anak diusia ini
memang sangat egois dan tidak dengan mudah berbagi mainan dengan teman –
temannya, sehingga lingkungan yang baik bagi anak usia ini adalah dengan
menyediakan mainan dengan jumlah yang cukup.
Namun bukan berarti dengan sikapnya ini tidak ada pendidikan moral
bagi mereka. Dengan rasa memiliki (possessivitas) yang tinggi, seorang anak
dapat belajar tentang konsep kepemilikan dengan benar, ini adalah barangku dan
itu barang milik kakakku. Dari konsep kepemilikannya, kita dapat mendidik rasa
tanggung jawab dan kemandirian atas dirinya.
“Tidak bisa diatur”
Berkaitan dengan kesempatan anak untuk memilih dan menyalurkan
kreatifitasnya, mereka sudah dapat ulain dilibatkan dalam diskusi untuk
merencanakan kegiatan keluarga. Keterlibatan ini bisa diberikan hinggapada
pemberian tanggung jawab atas perilaku dan barang mainannya. Tanggung jawab ini
akan menumbuhkan inisiatif anak.
Apabila anak merasa mampu berinisiatif untuk melelakukan kegiatan
sesuai dengan keinginannya, maka akan menumbuhkan rasa kemampuan diri,
kreatifitas, dan mencetuskan serta menjalankan ide – idenya. Semua ini adalah
modal bagi pertumbuhan kematangan emosinya. Sebaliknya,
“Apabila
anak sering dilarang dan tidak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif,
mereka akan menjadi pribadi yang apatis, tidak kreatif, dan rendah diri”.
“Untuk hadiah dan menghindari
hukuman”.
Sebagai orang tua atau guru sikap yang terbaik terhadap anak yang “
usil, banyak tingkah, egois, tidak bisa diatur, dan opportunis hadiah” ini
adalah lembut, tegas, jelas dalam memberikan arahan, aturan reward, dan
konsekuensi yang pasti serta tetap memberikan pilhan untuk melakukan sesuatu
atau tidak mengerjakannya. Jika itu semua dilakukan , insyaallah anak kita akan
tumbuh mnjadi anak yang mandiri, percaya diri, dan tetap kreatif.
C.
OTORITAS (Usia 4 – 6 dan 6 – 8 tahun)
Inilah saatnya orang tua merasakan nikmatnya menjadi orang tua.
Anak lebih mudah menerima otoritas orang tuanya. Mereka lebih mudah diajak
kompi dan kerjasama, terutama jika berkaitan dengan perkataan orang tuanya.
Namun masiih perlu diingat bahwa kepatuhan mereka masih sarat dengan harapan
untuk memperoleh hadiah dan menghindari hukuman.
Anak
diusia 4-6 tahun mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut :
1.
Menerima otoritas orang tua dan
orang – orang yang paling dekat dengan dirinya.
2.
Mereka sudah mulain menerima
pandangan orang lain selain pandanganorang tua mereka sendiri.
3.
Menjadikan standar moral orang
tuanya sebagai standar moral bagi dirinya sendiri. Cara berbicara dan bersikap
orang tua, seringkali menjadi model bagi diri mereka.
4.
Kehadiran orang tua secara fisik
masih sangat berpengaruh terhadap kuatnya otoritas orang tua dihadapan putra
putri mereka.
“Masa
inilah masa bagi pembentukan moral dengan pola modelling. Mereka menjadikan
orang tua atau orang terdekat mereka sebagai model yang pantas ditiru dan
diikuti rerak geriknya”.
Pada masa ini orang tua dianjurkan untuk berhati – hati dalam
perilaku dan suasana psikologinya. Di usia ini anak adalah peniru ulung bagi
sikap dan perilaku orang tuanya. Jangan terkejut bila tiba –tiba anakkita duduk
di kursi hampir mirip dengan cara kita duduk dikursi tersebut.
Dengan pola modelling tersebut, tidak berarti orang tua tidak perlu
lagi menjelaskan tentang mengapa anak harus melakukan ini dan melarang anak
untuk melakukan itu. Seperti kebiasaan anak untk mengembalikan barang
ketempatnya, bukan karena untuk mendapatkan pujian atau menghindari hukuan dari
orang tua. Terlebih dari itu, mereka dapat merasakan nikmatnya kerapian dan
ketertiban.
Pada usia 6-8 tahun, anak –anak mengalami dua bentuk
perkembanganotoritas. Pertama, perkembangan wilayah otoritas. Jika sebelumnya
mereka cenderung hanya menerima otoritas orang tuanya dan orang – orang yang
setiap hari menjaganya, kini mereka mulai dapat menerima otorit/as dari orang
lain seperti guru dan pelatihnya.
Satu sisi perkembangan ini sangatlah menggembirakan, karena sebagi
bukti nyata bahwa kemampuan sosialnya juga berkembang. Namun pada sisi lain,
jika orang lain yang dijadikan model oleh anak kita merupakan sosok yang kurang
baik moralnya, maka secara otomatis perkembangan moranya juga kurang baik. Di
sinilah peran porang tua untuk membantu anak memilihkan lingkungan yang
dipenuhi dengan orang – orang yang baik moralnya.
Kedua, perkambanga pola penerima otoritas, di mana sebelumnya
mereka menerima otoritas secara total, maka saat ini pola penerimaan
otoritasnya bersifat timbal balik. Jika seorang melakukan kebaikan pada
dirinya, maka ia akan melakukan kebaikan pula kepada dirinya.
Ada beberapa karakteristik bagi anak – anak dalam usia penerimaan
otoritas timbal balik ini, diantaranya adalah ;
1.
Anak mulai menyadari bahwa mereka
mempunyai hak sebagaimana orang dewasa.
2.
Memiliki konsep keadilan yang kurang
fleksibel, yaitu balas membalas. Mereka hanya melakukan kepada orang yangg
telah melakukan kebaikan terhadap dirinya. Sebaliknya mereka akan membalas
dengan kejahatan terhadap orang yang telah berbuat jahat kepada dirinya.
3.
Lebih sering membanding – bandingkan
dan meminta perlakuan adil. Kue yang diperoleh kakak harus sama besar dengan
kue yang diperolehnya.
4.
Cenderung membangkang terhadap hal
yang dianggap kurang adil dalam pembagiannya.
5.
Kurang dapat melihat tindakan yang
salah, kecuali kalau melihat hasilnya yang membahayakan.
Mengajarkan moral pada anak usia ini otoritas timbal balik ini
dapat memakai konsep prinsip timbal balik. ’ jika kamu inggin dihormati oleh kawan – kawanmu, kamu
juga harus bersikap hormat terhadap mereka.’ ‘ mengapa mereka bersikap kasar
terhadapmu, mungkin dikarenakan sikapmu yang kurang lembut terhadap mereka.’
Kesepakatan – kesepakatan yang mencerminkan keadilan bagi semua
pihak juga dapat diterapkan kepada anak – anak di usia ini. ’ bagaiman kalau
mama mulain menyiapkan sarapanmu dan kamu mulai merapikan buku – buku di
tasmu.’
Namun orang atau ata guru harus meberikan pengertian agar mereka
dapat melanjutkan kepada perkembangan moral selanjutnya. Karena banyak anak –
anak pada usia selanjutnya bahkan pada usia dewasa tahapan moralnya masih dala
konsep timbal balik, balas membalas dan prinsip keadilan.
Untuk pengertian diatas Lickona menganjurkan beberapa hal yang
dapat dilakukan oleh orang tua untuk mendorong moral anak berkembang pada tahap
selanjutnya ;
1.
Berikan contoh kepada anak perilaku
baik yang didasari pada rasa cinta dan kasih sayang, bukan pada prinsip
keadilan semata.
2.
Membantu anak untuk merasakan apa
yang orang lain rasakan, dengan mengajak mereka ke korban bencana alam atau
panti asuhan.
3.
Menciptakan hubungan yang mesra
kepada anak, agar mereka bisa peduli terhadap keinginan anda.
4.
Membantu mereka untuk melakukan
tugas sesuai harapan anda. Bukan karena ingin mendapatan hadiah atau pujian,
tetapi karena mareka menikmati selesainya tugas tersebut dan dapat membantu
orang lain.
Dalam masa otoritas ini terdapat juga tugas perkembangan moral yang
harus dibangun yaitumenanamkan rasa mampu untuk melaksanakan tugas. Orang tua
harus secara halus mendorong anak – anak untuk berekplorasi agar mereka
menydari bahwa mereka dapat belajar menguasai sesuatu yang sebelumnya tidak
mereka duga bisa mereka kuasai.
Jika orang tua gagal dalam menanamkan perasaan ini, maka besar
kemungkinan anak tumbuk menjadi anak yang rendah diri yang akan terbawa sampai
usia dewasa.
D.
TEMAN SEBYA (Usia 8 - 14 tahun)
’’Anak
–anakk di usia ini memang tidak terlalu tergantung pada figur otoritas seperti masa sebelumnya.
Tindakan – tindakan yangmereka lakukan lebih didorong motivasi untuk
menyenangkan hati teman sebayanya.’’
Jika mereka sudah mulai mampu memilah antara moral yang baik dan
moral yang jelek, ditambah dorongan keinginan untuk dikatakan anak yang baik
bagi lingkungannya ‘teman sebaya’.
Tahapan
perkembangan moral ini mempunyai karakteristik sebagai berikut ;
1.
Anak berusaha mendapatkan pengakuan
sosial dari orang lain, sehingga ia mau berbuat sesuatu agar orang lain
mengakuinya sebgai orang baik
2.
Lebih mampu mengerti apa yang
dibutuhkan orang lain, tidak semata – mata berpikir apa yang dapat saya peroleh
dari orang lain.
3.
Dapat menerima tanggung jawab dan
melakukannya demi kepentingan keluarga, karena mereka sudah memahami arti
sebuah kelompok.
4.
Karena selalu berorirentasi pada
pengakuan kawan, mereka cenderung kurang percaya diri atau meras tidak aman.
Maka pada masa ini banyak anak berjerumus pada hal – hal yang negatif hanya
untuk mendapat pengakuan teman sebaya. Dengan mencoba merokok, bersikap seperti
teman sebaya, menggunakan aksesoris badan yang sama dengan yang digunakan teman
sebaya, dan lain – lain.
5.
Sudah mulai mempunyai perasaan
bersalah dan malu, namun masih sangat dipengaruhi lingkungan luarnnya, terutama
tentang konsep diri yang ingin diakui oleh lingkungannya.
Tahap ini masih terkait dengan tahapan perkembangan moral
sebelumnya, yaitu perasaan mampu melaksanakan tugas dengan baik. Apabila pada
tahapan sebelumnya seorang anak sudah merasa mampu dan percaya diri, maka pada
perkembangan selanjutnya mudah baginya untuk menemukan identitas diri.
Konsepdiri yang positif akan meningkatkan rasa percaya diri yang tinggi.
Konsep diri yang rendah seringkali memberikan pengaruh negatif bagi
anak seperti kenakalan remaja, depresi, bunuh diri, dan mudahnya mereka
dipengaruhi teman – temannya untuk melakukan perilaku yang negatif.
Berikut
ini beberapa tips yanng dapat dilakukan oleh orang tua untuk membangun konsep
diri yang tinggi, sekaligus membantu anak untuk melanjutkan perkembangan
moral pada tahap selanjutnya ;
1.
Membangun hubungan yang baik dengan
anak, terutama di dalam mengembangkan komunikasi yang efektif, turut membangun
memecahkan problem mereka dan menemukan identitas dirinya.
2.
Membangun konsep diri yang positif
dengan tidak membanding bandingkan dengan kawannya, memberi penghargaan atas
perilaku positif mereka, mendorong mereka untuk mencari kawan – kawan yang baik
dan mengembangkan hobi, serta bakat mereka.
3.
Sering mendiskusikan permasalahn –
permasalahan moral dengan mereka.
4.
Menyeimbangkan antara memberikan
kebebasan terhadap mereka dan mengontrol tindakan mereka dengan menggunakan
otoritas berdasarkan cinta kasih, mengatakan ‘ya’ dan ‘tidak’ kalau memang
diperlukan dengan tanpa meninggalkan peluang mereka untuk memilih, memberi
kesempatan kepada mereka untuk menolak dengan cara yang baik dan menggunakan
kontrol secara tidak langsung.
Dengan
beberapa tips diatas diharapkan konsep diri anak meningkat, sehingga pada
akhirnya mereka mampu menentukan secara mandiri apa yang bermanfaat dan apa
yang berbahaya bagi mereka.
E.
MORALITAS SOSIAL (Usia14 –20tahun)
Ada dua parameter yang dapat dijadikan ukuran apakah seorang anak
telah berkembang tahapan moralnya dari moralitas teman sebaya menuju moralitas
sosial. Pertama, peer pressure ‘ tekanan teman sebaya’ masih sangat kuat,
sehingga seorang anak saat melakukan sebuah tindakan lebih memikiran untuk mendapat
pengakuan teman sebayanya dari pada untuk memenuhi perannya sebagai anggota
masyarakat yang selelu menghormati dan menaati peraturan.
Kedua, jika seorang anak belum mampu melihat dampak yang lebih
besar dari tindakan negatif yang mereka lakukan. Seperti kebiasaan anak
mengambil barang dari toko, karena banyak temannya yang juga melakukannya. Ia
merasa tidak nyaman jika di sebut ‘sok alim.’ Padahal dengan tindakannya mereka
telah merusak tatanan sosial yang ada.
Jika kita menjumpain seorang anak yang masih mempelihatkan salah
satu diantara indikator diatas, maka sebenarnya anak tersebut masih mencapai
tahapan moralitas teman sebaya. Walaupun secara umur ia seharusnya sudah masuk
tahap moralitas sosial.
“Moralitas
sosial bukanlah puncak dari tahapan perembangan moral seorang anak, karena
tahapa ini hanya menjadikan anak sebagai warga negara yang baik. Ia melakukan
sesuatu perilaku bukan karena kebenaran perilaku tersebut tetapi lebih untuk
mengikuti kemauan masyarakat setempat”.
Orang tua dapat membantu anak – anak untuk mencapai tahapan moral
selanjutnya dengan beberapa cara berikut ini ;
1.
Mengajak anak berdiskusi tentang
fenomena – fenomena moral berdasarkan hati nurani dan prinsip – prinsip
keadilan sejati.
2.
Memberikan pengalaman nyata kepada
anak tentang masalah – masalh moralitas pada masyarakat seperti kerja sosial,
belajar hidup mandiri dan membantu orang orang yang kesulitan.
3.
Mendorong mereka untuk memikirkan
masa depan dan apa yang harus mereka persiapkan dari sekarang ini agar dapat
memberikan kontribusi yang positif bagi oran lain.
Komunikasi
yang pasif dengan anak adalah pangkal dari pengembangan tahapan moralitas
sosial ini.
F.
MORALITAS OBJECTIVE DAN HATI NURANI
(Usia 20 tahun - dewasa)
Tahapan perkembangan moral selanjutnya adalah moralitas objektif
dan hati nurani, yaitu prinsip moral yang di dasarkan pada kaidah – kaidah
kebenaran dan hati nurani. Sebuah teladan moral yang tidak dibangun dari
kepentingan pribadi, pengakuan teman, kebenaran sosial tertentu tetapi mengacu
pada sebuah kebenaran objektif, kebenaran sejati dari Allah swt dan suara hari
nurani.
Kolhberg berkomentar tentang tahapan perkembangan moral tertinggi
ini. Yaitu apabila ada konflik antara hukum atau peraturan dngan hati nurani
maka seorang yang telah sampai pada tahapan ini akan menuruti apa kata
nuraninya, walaupun ia harus menanggung resiko pribadi. Karena komitmennya pada
kepercayaan dan kebenaran sejati tidak pandang bulu.
Tahapan ini dapat dicapai pada usia 20 tahun atau sesudah umur
tersebut. Mereka yang sudah mencapai tahapan ini akan mengacu kepada moral hati
nurani. Mereka berbuat baik karena hati nurainya berkata demikian, bukan karena
kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok atau sistem sosial tertentu.
“manusia
yang telah mencapai tahapan moral ini tidak mudah terprovokasi oleh propaganda
dari orang lain. Karena kesadaran nuraninya hanya berpegang teguh kepada
prinsip – prinsip moral Allah swt sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Assunnah”.
Walaupun moralitas hati nurani ini merupakan tahapan yang
tertinggi, namun moralitas ini harus dibangun sejak kecil. Sejak kecil seorang
anak kecil sudah harus dibiasakan untuk merasakan dan mencintai kebijakan,
sehingga pendidikan moral yang melibatkan aspek feeling dan loving dapat
membantu anak untuk mencapain tahap perkembangan moral yang tertinggi ini.
BAB
IV
PENUTUP
A.. KESIMPULAN
ü
“salah satu kebutuhan terpenting
yang harus dipenuhi sejak lahir adalah kelekatan psikologis dengan ibunya”
ü
“Seorang ibu yang sering menatap
anaknya, mengelus, menggendong, berbicara kepada anak dan bercanda saat anak
tersebut dibawah sia 6 tahun akan mempengaruhi sikap bayi menjadi anak yang
gembira, antusias mengeksplorasi lingungannya dan menjadikannya anak yang
kreatif.”
ü
“Apabila anak sering dilarang dan
tidak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif, mereka akan menjadi pribadi
yang apatis, tidak kreatif, dan rendah diri”.
ü
“Usia 4 – 6 dan 6 – 8 tahun inilah
masa bagi pembentukan moral dengan pola modelling. Mereka menjadikan orang tua
atau orang terdekat mereka sebagai model yang pantas ditiru dan diikuti rerak
geriknya”.
ü
’’Anak –anakk di usia 8-14 tahun ini
memang tidak terlalu tergantung pada figur otoritas seperti masa sebelumnya.
Tindakan – tindakan yangmereka lakukan lebih didorong motivasi untuk
menyenangkan hati teman sebayanya.’’
ü
“Moralitas sosial bukanlah puncak
dari tahapan perembangan moral seorang anak, karena tahapa ini hanya menjadikan
anak sebagai warga negara yang baik. Ia melakukan sesuatu perilaku bukan karena
kebenaran perilaku tersebut tetapi lebih untuk mengikuti kemauan masyarakat
setempat”.
ü
“Manusia yang telah mencapai tahapan
moral ini tidak mudah terprovokasi oleh propaganda dari orang lain. Karena
kesadaran nuraninya hanya berpegang teguh kepada prinsip – prinsip moral Allah
swt sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Assunnah”.
B.
SARAN
1.
Guru atau orang tua harus berperan
sebagai model yang baik bagi para murid atau anak-anak. Atas dasar ini, tentu
saja selain orang tua semakin berjarak dengan anaknya dan masyarakat semakin
acuh tak acuh dengan lingkungan sekitarnya, dan media yang semakin merusak,
gurulah yang diharapkan mampu menjadi model sudah teruji sepanjang zaman.
Sering kita temukan dalam kehidupan nyata, seorang anak lebih mempercayai
omongan gurunya daripada orang tuanya, terutama anak-anak yang baru mengenal
dunia pendidikan ke luar rumah. Sebagian besar anak sangat senang terhadap
gurunya dan mau mendengar serta mematuhi pesan-pesan dan nasihat yang diberikan
gurunya.
2.
Anak-anak harus meneladani
orang-orang terkenal yang berakhlak mulia, misalnya Nabi Muhammad SAW. Cara
guru dan orang tua menyelesaikan masalah secara adil, dan menghargai pendapat
anak, mengkritik orang lain secara santun, merupakan perilaku secara alami
dijadikan model oleh anak-anak. Demikian juga apabila guru dan orang tua berperilakuyang
sebaliknya, anak-anak juga secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu,
para guru dan orang tua harus hati-hati dalam bertutur kata dan bertindak
supaya tidak menanamkan nilai-nilai negative dalam sanubari anak.
.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Zubaedi. 2012. Desain Pendidikan
Karakter. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
2.
Jinan, Miftahul. 2013. Aku
Wariskan Moral bagi Anakku. Sidoarjo : Filla Press
3.
Cristina, Ani. 2013. Sekolah
Menjadi Orang Tua. Sidoarjo : Filla Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar